Mohon tunggu...
Rifi Hadju
Rifi Hadju Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Buku Min Turobil Aqdam (2018), Tadabbur Cinta (2019), Gadis Pattani Dalam Hati (2019)

Rifi Hadju adalah nama panggung saya. Aslinya, saya Ade Rifi. Lahir di Surabaya, 21 Februari, dua puluh sekian tahun yang lalu. Saat ini sedang berkuliah di Universitas Muhammadiyah Surabaya, menempuh prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Baru sejak tahunan lalu memiliki ketertarikan di dunia kepenulisan, terutama pada irisan sastra. Sekarang disibukkan bertengkar dengan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Kesunyian Itu bersama Cak Gombloh

9 Januari 2020   20:17 Diperbarui: 11 Januari 2020   03:36 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tembok Dukuh, Surabaya. Di sebuah komplek pemakaman, terselip sebuah makam di antara makam lainnya. Berkeramik merah kusam nan agak terabaikan.

Siapa kira, makam merah kusam yang agak terabaikan itu menjadi tunggal "milik" pria bernama Soedjarwoto Soemarsono, atau yang lebih mafhum dikenal sebagai Gombloh.

Cak Gombloh, sapaan khas Jawa Timur-an, adalah Arek Jombang, legenda musik Indonesia yang nyaris tak akan tergerus kelincahan zaman.

Kejeliannya dalam menjumput celah tema, tak ada duanya. Kelihaiannya merakit lirik dan nada yang nyeleneh dan tak kosong nilai-lah yang membuatnya mencuat menjadi musisi top-rated di era 80-an.

Cak Gombloh, musisi balada sejati, simbol ekspresi kepengapan kaum kelas bawah yang kerap dipandang sebelah mata. 

Musisi berbadan kurus yang selalu bergaya nyentrik itu tak sekadar fakultatif menghadirkan nomor-nomornya pada alam dan sosial. Cak Gombloh juga mengantarkan penikmatnya menuju titik kesejatian Indonesia.

Di sisi lainnya, Cak Gombloh tak pula kalah romantisnya kala mendendangkan nomor-nomor bernapas cinta. Ia adalah sesungguh-sungguhnya musisi universitas.

Bisa jadi, Cak Gombloh ditakdirkan dilewati sekian lintas generasi. Namun, gores karyanya tetap dicintai, tetap dipelihara dalam hati, abadi. 

Tidak ada untaian lirik Cak Gombloh yang tak mengajak penikmatnya agar menyempatkan masa tuk merundukkan hati, muhasabah diri. Tidak ada kata-kata yang tertuang dalam nada Cak Gombloh yang tak mengayuh kepada puncak dimensi permenungan.

Penulis yakin, ketika kita mendengar "Indonesia, merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatmu, Indonesia...," banyak di antara kita yang mengira, generasi milenial khususnya, bahwa itu adalah lagu perjuangan. Seangkatan "Maju Tak Gentar", "Syukur", "Indonesia Pusaka", misalnya.

Nyatanya, acap di antara yang terlambat menyadari jika potongan lirik itu ialah garapan emas seorang musisi yang unik sama sekali. Begitulah Cak Gombloh, lagu-lagunya tak akan pernah mampu ditaklukkan zaman.

Atau "Kugadaikan Cintaku" yang kekal masyhur. Lagu yang terinspirasi dari "Wonderful World, Beautiful People"-nya Jimmy Cliff itu, diatasi Cak Gombloh dalam waktu hanya tak sampai sejam.

Awalnya, berlirik sosial laik tembang-tembang lainnya. Namun atas permintaan Bob Djumura, hanya dalam hitungan menit, Cak Gombloh sudah mengubahnya menjadi lagu bernapaskan cinta. Hingga tulisan ini dimuat, jutaan kali "Kugadaikan Cintaku" masih didendangkan di seluruh Indonesia.

Kodrat Tuhan yang melambungkan Cak Gombloh melalui keindahan nada dan irama serta realitas kata dan makna, tak lantas membuat lupa daratan. Cak Gombloh tetaplah Cak Gombloh. Kesederhanaannya lahir dari jiwa apa adanya, tertumpuk dari setiap scene hidup yang ia potret.

Cak Gombloh tak melulu soal siapa, Cak Gombloh adalah tentang apa. Sebab, musik cuma-lah bagian kecil dari perjalanan panjangnya. Musik hanya sekadar utusan dari dirinya.

Melalui syari musik, Cak Gombloh berupaya merefleksikan kemurnian pikiran dan kejernihan serta kedalaman batinnya ihwal realitas yang ada, ihwal apa yang tak sempat dipikirkan dan dipedulikan banyak orang. 

Jika seluruh karya Cak Gombloh dimasak menjadi tinta dan kertas, seakan-akan ia hendak mengantarkan penikmatnya pada sebuah kalam, "Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya".

Keintiman Cak Gombloh dengan kaum kelas bawah juga-lah yang menjadi sumber imajinasinya dalam melahirkan karya-karya berkelas. Akrab dalam berbagai kisah, Cak Gombloh, lokalisasi dan klab malam bagai kekasih yang saling mengisi.

Pada sebuah cerita yang tertulis di balik salah satu cover kaset albumnya, ketika sedang di Bali. Cak Gombloh pernah menyewa seorang WTS (Wanita Tuna Susila) dalam sebuah kamar wisma. 

Pendek pikiran, orang akan menduga Cak Gombloh sedang menjajal surga dunia, melakukan yang mantap-mantap.

Kenyataannya tidak demikian. Dalam kamar wisma, Cak Gombloh justru "memanfaatkan" seorang WTS itu untuk berhadapan dengannya. Berkisah, berbagi cerita. 

Dalam waktu yang singkat tersedia, berbekal kisah, Cak Gombloh melukiskan lirik lagu di secarik kertas yang kini akrab dijuduli "Loni, Pelacur & Pelacurku".

Kepedulian Cak Gombloh kepada kaum minor yang dipinggirkan keadaan, mutlak menaklukkan gengsi "ngartis" yang jamak di dunia hiburan. Ia sama sekali tidak peduli apa itu namanya eksistensi, popularitas. 

Ia tidak kenal nama baik, image, citra. Yang Cak Gombloh pedulikan adalah apa yang tak dipedulikan orang lain. Yang Cak Gombloh kenal adalah memanusiakan manusia.

Cak Gombloh berupaya mengangkat derajat kaum WTS khususnya, yang oleh bawah sadar umum, terlanjur "dihakimi" sebagai kaum hina dina. 

Butuh keluasan hati yang luar biasa untuk selalu menyisihkan honor manggung yang dipergunakan membeli bra dalam jumlah banyak nan dibagikan secara cuma-cuma kepada kaum WTS. 

Butuh ketangguhan mental bagi Cak Gombloh untuk membagikannya langsung kepada kaum WTS.

Kaya yang pernah disingkapkan Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) pada sebuah acara Sinau Bareng Kiai Kanjeng. Mbah Nun diajak oleh Cak Gombloh membagikan 500 helai bra bermacam warna dan ukuran dari atas becak, di sepanjang jalan wisma yang berderet-deret di lokalisasi Dolly. 

Para kaum WTS menanti dimuka wisma, menangkap bra yang dilempar acak oleh Cak Gombloh dari atas becak.

Penulis membayangkannya. Ini pemandangan sungguh indah, drama luar biasa. Seorang musisi terkenal dan serta tokoh nasional dengan tanpa tedeng aling-aling, berani membagikan bra dari atas becak yang disambut raihan tangkapan tangan kaum WTS yang menanti di pinggir-pinggir jalan.

Satu lagi, terakhir. Tembang Cak Gombloh "Hong Wilaheng" yang khusyuk itu. Siapa kira, Cak Gombloh mampu menitik-temukan serat-serat 

Wedhatama dan Pangkur yang berpencaran pupuhnya, nun menalinya menjadi sebuah tembang yang sukar dideskripsikan oleh kata-kata pikiran. 

Lamun sarat akan makna. Penulis kira, inilah tembang makrifat. Hanya yang punya bekal spiritualitas tak biasa yang mampu melaksanakannya.

Siapapun ditakdirkan mati, tapi karya sama dengan prasasti abadi, begitu ujar pepatah. Kalau menukil syair Arab, innamannasu hadistun ba'dahu Fakun hadistan hasanan liman wa'a. 

Yang kurang lebih bermakna; Sejatinya nilai dari manusia adalah ketika manusia tersebut telah tiada. Maka, ciptakanlah cerita-cerita indah kehidupan yang dipersembahkan untuk manusia setelahnya. Dan Cak Gombloh, dalam keheningan telah rapi melaksanakannya.

Oh, Cak Gombloh. Andai saja "Indonesia Kami" diberi kesempatan untuk menyaksikanmu lebih lama. Tak mungkin "Kugadaikan Cintaku" pada harapan-harapan palsu. 

"Kami Anak Negeri Ini" yang awalnya "Setengah Gila", menjadi "Semakin Gila" oleh perhitungan hidup yang kerap salah. "Apa Itu Tidak Edan", Cak?

Yang "Diangan-angan", hidup adalah mengejar "Uang Dan Cinta". Kesunyian lakumu tegas menjawabnya tak selalu begitu. Sebab, jawab lakumu bahwa hidup adalah tentang bagaimana menjadi manusia yang semanusia-manusianya. 

"Doa Seorang Pelacur" pun tak mesti tak dikabulkan. Sebab, munajat adalah ihwal sambung ketulusan. Sama dengan kasih sayangmu kepada WTS-WTS itu yang terbengkalai perhatian hatinya.

38 kali 9 Januari kau telah meninggalkan "Indonesiamu" yang kau harap "Kebyar-Kebyar". Semoga "Tangis Kerinduan" akanmu yang membawa kesejatian, berakhir dengan "Kedamaian" yang tiada taranya. 

Istirahatlah dengan khidmat, Cak. Biar karyamu yang berdendang setia menemani "Kadar Bangsaku" yang seiring waktu makin berlari kencang menuju temaram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun