Siapapun ditakdirkan mati, tapi karya sama dengan prasasti abadi, begitu ujar pepatah. Kalau menukil syair Arab, innamannasu hadistun ba'dahu Fakun hadistan hasanan liman wa'a.Â
Yang kurang lebih bermakna; Sejatinya nilai dari manusia adalah ketika manusia tersebut telah tiada. Maka, ciptakanlah cerita-cerita indah kehidupan yang dipersembahkan untuk manusia setelahnya. Dan Cak Gombloh, dalam keheningan telah rapi melaksanakannya.
Oh, Cak Gombloh. Andai saja "Indonesia Kami" diberi kesempatan untuk menyaksikanmu lebih lama. Tak mungkin "Kugadaikan Cintaku" pada harapan-harapan palsu.Â
"Kami Anak Negeri Ini" yang awalnya "Setengah Gila", menjadi "Semakin Gila" oleh perhitungan hidup yang kerap salah. "Apa Itu Tidak Edan", Cak?
Yang "Diangan-angan", hidup adalah mengejar "Uang Dan Cinta". Kesunyian lakumu tegas menjawabnya tak selalu begitu. Sebab, jawab lakumu bahwa hidup adalah tentang bagaimana menjadi manusia yang semanusia-manusianya.Â
"Doa Seorang Pelacur" pun tak mesti tak dikabulkan. Sebab, munajat adalah ihwal sambung ketulusan. Sama dengan kasih sayangmu kepada WTS-WTS itu yang terbengkalai perhatian hatinya.
38 kali 9 Januari kau telah meninggalkan "Indonesiamu" yang kau harap "Kebyar-Kebyar". Semoga "Tangis Kerinduan" akanmu yang membawa kesejatian, berakhir dengan "Kedamaian" yang tiada taranya.Â
Istirahatlah dengan khidmat, Cak. Biar karyamu yang berdendang setia menemani "Kadar Bangsaku" yang seiring waktu makin berlari kencang menuju temaram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H