Mohon tunggu...
Rifki GG
Rifki GG Mohon Tunggu... -

“Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.” (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keyakinan Agama dalam Politik Kita, Etiskah?

20 Februari 2017   12:00 Diperbarui: 20 Februari 2017   12:07 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita bangsa religius yg menjadikan agama sebagai acuan bersikap. Memilih cagub berdasar keyakinan agama sama sekali tak langgar konstitusi,"

  Lukman Hakim Saifuddin

Pernyataan ini terasa sangat signifikan. Sebab sejak reformasi bergulir,  kesadaran bahwa Indonesia adalah negara hukum demokratis terus tumbuh. Pada saat yang sama masyarakat Indonesia terhitung masih tetap mendekap erat keyakinan agama. Dengan pernyataan Mentri Agama tersebut, baik dalam konteks dinamika di DKI maupun nasional, masyarakat Indonesia yang mendasarkan pilihan politiknya pada kepercayaan agamanya tidak perlu berada dalam situasi dilematis. Mengikuti kepercayaan yang dianutnya dan melanggar konstitusi. Atau taat terhadap konstitusi dan membelakangi keyakinannya.  

Signifikasi itu juga terasa sebab ini  menghangatkan perbincangan mengenai hubungan politik dan agama. Perbincangan tentang apakah patut keyakinan agama masuk ke wilayah politik. Atau bagaimana status otoritas yang datang dari agama ketika berhadapan dengan otoritas yang bersumber negara?

Dalam uraiannya yang singkat sebagaimana yang pernah dimuat oleh Frontier, Kenneth Cauthen, seorang Profesor Theologi, menjelaskan bahwa untuk membahas hubungan keduanya perlu ada pemisahan. Pemisahan yang jelas antara hubungan politik dan keyakinan sebagai satu hal. Dan hubungan gereja  (Baca : institusi agama) dan negara sebagai satu hal.

Hubungan politik dan keyakinan lebih kepada dua hal yang berada pada satu diri. Seseorang dapat berafiliasi dengan keyakinan agama tertentu dan pada saat yang sama memiliki serta mengekspresikan hak politiknya dalam sebuah negara. Seorang warga negara bisa menganut agama apa saja atau memilih tidak berafiliasi dengan agama apapun. Di saat yang sama ia dapat pergi ke tempat pemungutan suara dan bebas memilih siapa yang ia kehendaki.

Sementara hubungan gereja dan negara adalah hubungan dua institusi yang berbeda dan merdeka. Legitimasi seorang presiden sebuah negara tidak datang dari institusi gereja. Dan sebaliknya, Paus tidak di angkat oleh Institusi Kepresidenan. Keterpisahan ini berarti bahwa antara gereja dan keyakinan seseorang terhadap agama adalah dua hal berbeda.

Kemandirian negara sebagai institusi yang terpisah dari gereja, secara tidak langsung mengeluarkan warga negara dari posisi sebagai subjek otoritas gereja. Warga negara memiliki hak yang tak bisa diintervensi oleh gereja. Tapi perlindungan terhadap haknya itu dengan sendirinya juga berarti melindungi haknya untuk menjalankan keyakinan. Maka jadilah hak berkeyakinan mendapat jaminan dalam institusi negara.

Sekarang bagaimana jika kebebasan memeluk agama dan keyakinan ini beririsan dengan hak politik? Apakah keyakinan personal punya legitimasi yang cukup untuk dijadikan dasar dalam keputusan politik yang berkonsekuensi pada level negara? Banyak pakar teori filsafat politik menyatakan bahwa harusnya agama sesedikit mungkin terlibat dalam praktik politik. Tapi ini, menurut  Cauthen, kurang tepat. Sebab banyak prinsip politik, etika dan moral seperti keadilan, keseteraan didepan hukum, yang diadopsi negara justru berakar dari agama. Dan dengan demikian adalah patut jika penganut keyakinan mengekspresikan hak politiknya berdasarkan keyakinan yang dianutnya.

Karena itu agaknya, negara dengan sistem demokrasi liberal yang sangat mapan seperti AS - yang konstitusinya secara eksplisit mencantumkan pemisahan Gereja dan Negara - politik selalu berkelindan dengan keyakinan agama. John F. Kennedy yang seorang Katolik, dalam kampanyenya di Houston, pernah meyakinkan pemuka Agama Protestan bahwa jika terpilih dia tidak akan menerima perintah dari Paus di Roma. Bagaimana tidak, mayoritas rakyat AS adalah Protestan. Kaum Protestanis AS sendiri sejak lama menyumbangkan suara ke Partai Republik yang cenderung mengakomodasi nilai nilai agama kristen dalam kebijakan nasionalnya.

Kasus AS ini kurang lebih adalah apa yang terjadi di barat. Keyakinan agama tetap memegang peran dalam perpolitikan. Hanya saja di barat, setelah kedatangan Rennesaice, Revolusi Industri, Revolusi Perancis dan Revolusi Digital, agama tidak lagi sebagai faktor utama yang mentransformasi semua sisi kehidupan. Di sana agama berpengaruh tapi bukan penentu.  

Sementara di Indonesia kasusnya berbeda. Sepanjang sejarah, hampir seluruh transformasi di Nusantara sebelum 1945 maupun  setelah  Indonesia berdiri tidak pernah lepas dari peran agama. Di masa jauh sebelum kemerdekaan misalnya, corak agama Hindu Budha begitu kental pada kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Sriwijaya dan Majapahit. Ketika kemudian Islam menyebar, pusat kekuatan politik di Nusantara berpindah ke beberapa  kesultanan seperti Demak, Banjar, Mataram dan Ternate. Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari adalah salah satu contoh yang menunjukan peran keyakinan agama di masa perjuangan kemerdekaan.

Ketika Indonesia berdiri, pengaruh agama itu terterjemahkan misalnya, pada hadirnya NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik dalam kontestasi perpolitikan Indonesia. Keyakinan agama jugalah yang ikut berperan melawan pengaruh dan anasir PKI yang pada gilirannya mengantarkan kita kepada transisi dari Orla ke Orba. Saat reformasi datang, banyak partai yang mendapat inspirasi dan basis pemilih berdasar keyakinan agama, membentuk diri. Hari ini beberapa mungkin telah hilang, tapi beberapa di antaranya tetap kokoh dan tiada berhenti berperan.

Catatan sejarah  yang demikian bersanding dengan prinsip Keesaan Tuhan yang termaktub baik dalam Pancasila maupun Undang Undang Dasar. Dan atas dasar semua ini agaknya sulit untuk tidak bersetuju dengan pernyataan Mentri Agama. Setidak-tidaknya untuk saat ini.

Sumber : frontier.net

                 plato.standford.edu

                 wikipedia.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun