Saya beranjak turun dari kendaraan, setibanya di sebuah rumah elit di kawasan Surabaya Timur dan kemudian disambut oleh pagar putih yang terbuka otomatis dengan maksud mempersilakan saya melangkah ke dalam. Di ujung teras, sosok pemuda dengan tatapan mendalam, menoleh ke arah saya sembari sedang mengotak-atik gawainya.
“Akhirnya ketemu juga, Mas,” ujar saya membuka pintu obrolan. “Ah ayo-ayo buka puasa dulu kamu, saya barusan kelar,” timpalnya yang ternyata tanpa saya ketahui, telah mempersiapkan nasi kebuli dan es teh manis yang Ia pesan sebelum kedatangan saya.
Kendati, pertemuan dengan Tom Liwafa yang seharusnya direncanakan beberapa hari sebelumnya, karena satu dua lain hal, baru bisa berjumpa di Rabu malam (20/04/24). Tepat sedang berlangsungnya pelaksanaan rekapitulasi pemilu oleh KPU.
Sedikit informasi, Tom Liwafa ialah pemuda asal Mojokerto 5 November 1990 yang dikenal sebagai pengusaha muda sukses berkat gurita bisnis yang dijalaninya sedari merintis menjaja sticker di jalanan, belasan tahun lalu. Salah satu yang terkenal, brand fashion Deliwafa yang kini lagi digandrungi anak muda Jawa Timur.
Kesuksesannya dalam berbisnis ternyata tidak membuatnya berhenti untuk do something. Saat ini, Ia sedang berjibaku dengan proses berpolitiknya. Bukan skala kota atau provinsi. Tak tanggung-tanggung, langsung mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI periode 2024-2029!
“Gimana Mas Tom setelah tahu hasil rekapitulasi KPU?” tanya saya sepungkasnya menyelesaikan hidangan yang telah disuguhkan oleh Tom Liwafa.
Lontaran pertanyaan itu meresap mulus di kedua telinga Tom Liwafa yang sedang menyambut dua cangkir kopi yang dihantarkan di meja hadapan kami. Sosok yang lekat dijuluki Crazy Rich Surabaya itu sejenak menyesap secangkir kopi hitam pekat di meja mukanya, sekaligus mendorong saya untuk menenggak cangkir kopi lainnya.
Lantas kemudian Ia mulai membuka kata-kata.
“Ya, Alhamdulillah. Itu yang bisa saya sampaikan. InsyaAllah KPU dan Bawaslu jujur karena dari data D saya menang. Kita tunggu rekapitulasi selesai biar nanti yang mengumumkan KPU saja, saya tidak mau mendeklarasikan kemenangan saya."
Syahdan, kakinya setengah bersila saat saya hendak menarik ke belakang, mengonfirmasi apa yang menjadi dasar pertimbangan Tom Liwafa sebenarnya untuk memberanikan diri terjun di orbit politik.
Tentunya, saya bukanlah sosok orang yang kenal secara intim dengannya. Kendati, proses bersama penulis buku “Strategi Perang Digital Marketing” tersebut dalam berbagai kerjasama, menyimpulkan saya tentang bagaimana loncatan berpikir, visi, dan adaptif-transformatif seorang Tom Liwafa yang di atas rata-rata orang semasanya.
Tom Liwafa menganggukkan kepala, seakan membenarkan tentang keraguan orang-orang di sekitarnya, keluarga dekatnya, bahkan tim sendiri di perusahaannya ihwal keputusannya yang sungguh tidak populer dalam memasuki belantara politik.
Saya adalah termasuk orang yang termasuk mengernyitkan dahi saat pertama kali mendengar Tom Liwafa terjun di dunia politik. Semacam mission impossible, mengingat Tom Liwafa sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan dunia yang tidak jelas garis putih dan hitamnya itu.
“Banyak pihak pasti merasa aneh waktu liat saya pertama kali pakai baju partai. Sama, saya juga. Tapi, kita ini hidup harus terus bermetamorfosa. Keputusan saya untuk ambil jalan itu (politik) tentu tidak sama perhitungannya dengan persepsi umum. Artinya apa, kalau kita bicara bidak percaturan di masa mendatang, ini tentang bagaimana kita untuk terus bergerak agar bisa menjadi manfaat yang berkali-kali lipat lebih luas lagi.”
Sebagai ‘anak baru’ di dunia politik, Tom Liwafa mengaku mengkompensasi ketidaktahuannya dengan belajar kepada siapa saja, belajar kepada apa saja. Keterbukaan diri Tom Liwafa dan didorong oleh kebiasaan menekuni hal baru, ditambah lagi oleh bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan sejak lahir, membuat proses adaptasinya di dalam seluk beluk perpolitikan berjalan lebih cepat.
“Yah, itu juga karena temen-temen PAN yang memang full-support dan welcome dengan bergabungnya saya. Mas Rizki Sadiq, Mbak Zita Anjani, Mas Eko Patrio, dan yang pasti Pak Ketum Zulhas adalah mentor yang bikin saya bisa lebih tenang dalam melangkah ke depan. Saya justru sangat berterima kasih ketika banyak pihak yang meragukan dan tidak memperhitungkan saya dalam kontestasi 14 Februari kemarin. Hal itu demikian buat saya menjadi tidak terbebani untuk berproses dalam pesta demokrasi.”
14 Februari 2024, menjadi titik mulai bagi seorang Tom Liwafa dalam pergumulannya di bidang politik. Karena statusnya sebagai pendatang baru, tentu tidak ada satu pihak pun yang memperhitungkan kemenangannya. Bahkan dalam survey dari berbagai lembaga, namanya tidak pernah muncul dan bukanlah yang dijagokan untuk lolos ke Senayan.
Kendati diragukan, namun Ia mengaku jika dukungan dari masyarakat Dapil Jatim I Surabaya-Sidoarjo menjelang hari H pencoblosan menjadi deras. Pengenyam S3 Program Doktoral Pengembangan SDM Universitas Airlangga itu membeberkan kepada saya bahwa hal itu tidak membuatnya kepedean dan justru harus realistis tentang apakah bisa melampaui ini atau tidak.
Merefleksi formasi Dapil Jatim I yang meliputi Surabaya-Sidoarjo, Tom Liwafa harus memastikan diri mendapat suara tertinggi dari persaingan dengan 9 caleg sesama partai PAN lainnya. Terlebih, salah satunya adalah Pak Sungkono yang merupakan incumbent, telah 20 tahun menjadi wakil rakyat.
Jalan rintang Tom Liwafa tidak hanya berhenti di titik itu. Lebih lanjutnya, Tom Liwafa yang berada di ‘dapil neraka’ harus bersaing dengan nama-nama mentereng dari partai politik lain.
Di PDI Perjuangan, sebut saja ada Puti Soekarno Putri, Bambang DH, dan Indah Kurnia. Kemudian di PKB ada Syaikhul Islam dan Arzeti Bilbiana. Bambang Haryo, Rahmat Muhajirin, & Ahmad Dhani dari Gerindra. Adies Kadir dari Golkar, Andi Mattaliti & Lucy Kurniasari dari Demokrat, dan sederet nama-nama beken di Dapil Jatim I Surabaya-Sidoarjo.
“Loh terus misalkan ini misalkan, maaf, dalam perhitungan akhir ternyata Mas Tom kalah dan gagal, apa yang mau dilakukan?” nekat saya berseloroh.
“Simple. Saya legowo, mengucapkan selamat bagi yang terpilih, kembali meneruskan hidup sebagai pengusaha, menjalankan bisnis, dan tetep bermanfaat bagi yang lainnya. Terutama temen-temen UMKM yang bagaimana formulanya harus saya dorong agar kemudian mereka ini bisa perlahan-lahan naik kelas,” beber Tom Liwafa.
“Apa tidak ada pikiran buat menggugat ke mahkamah partai atau MK?”
“Hidup itu tentang menentukan pilihan. Apabila memang worst-scenario adalah ternyata saya harus kalah secara fair, saya terima. Sebaliknya, apabila memang saya kalah dengan penuh kejanggalan, saya pasti mempertimbangkan. Pasti, untuk menggugat dan mempertahankan apa yang menjadi hak saya itu keharusan. Tapi kembali lagi, dalam berpolitik ini saya ingin banyak mendapat teman. Saya ingin bersahabat dengan siapa saja. Satu musuh terlalu banyak. Apalagi apabila misalkan ternyata yang saya gugat atau mungkin yang menggugat saya adalah Pak Sungkono. Lah beliau itu senior saya di PAN. Jadi saya juga harus sadar diri. Malah saya harus belajar banyak ke beliau.”
“Kalau berhasil?”
“Pertama saya juga gak boleh untuk kemudian glorifikasi. Itu gak baik, akan melukai teman-teman yang belum dapat kesempatan lolos. Harus tetap membumi. Terkait what will I do, tinggal dilihat saja, saya bisa menjalankan amanah apa tidak. Toh, gagasan yang nanti saya bawa ke kursi dewan, sebenernya sudah saya lakukan semua. Pemberdayaan UMKM, digitalisasi, kreatifitas anak muda, dan lain-lain itu. Ini kan soal bagaimana saya bisa mengamplifikasi hal itu jadi semakin masif. Prototype-nya sudah jalan. Dan tentu ini tentang saya menjadi jembatan aspirasi warga Surabaya-Sidoarjo untuk kemudian memproduksi kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan.”
Hendak saya menganga, Tom Liwafa menyambung kata, “begini loh. Ini kan saya ini bukan calon yang ‘kalau nanti saya jadi saya akan begini, saya janji begitu’. ’Kan tidak. Semuanya sudah saya lakukan. Hanya ya itu tadi, soal amplifikasi, meningkatkan kualitas dan kuantitas kebermanfaatannya.”
Lantas sejenak kami berdua terhening. Tak lama kemudian gawainya berdering, ada panggilan dari sahabatnya yang mengucapkan selamat atas lolosnya Ia ke Senayan. Sembari menunggu usai, Saya juga merengkuh gawai dan mencoba mencari infografis perolehan suara di Jatim Dapil I.
“Gimana Mas Tom dengan 69.243 suara dan menduduki kursi keempat Sainte Lague?” lanjut saya sambil menunjukkan infografis di layar gawai saya.
“Itu tidak lepas dari masyarakat yang menaruh kepercayaannya di pundak saya. Artinya apa, saya sebagai anak muda yang dipercaya untuk bisa membawa suatu kebaikan bagi kalangan luas, tentu rasa terima kasih saya tidak berhenti pada kata. Tapi bagaimana kemudian nantinya saat memang saya ditakdirkan ke Senayan, saya bisa menjadi jembatan yang baik bagi masyarakat agar segala harapan bisa menjadi kenyataan.”
"Fix ke Senayan ya ini berarti Mas?”
Tom Liwafa menimpali dengan simpul senyum, “doakan saja ya yang terbaik,” timpalnya sembari izin memungkasi pembicaraan karena hendak bersiap bergegas tarawih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H