Mohon tunggu...
Riffal Erlangga Putra
Riffal Erlangga Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terangkai Kisah

7 Januari 2024   14:41 Diperbarui: 7 Januari 2024   14:52 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Kita telah lintasi satu bulan bersama. Kita kian dekat. Banyak sekali pertemuan yang aku rencanakan. Seperti bertamu ke rumahmu, mengajakmu mencari setumpuk cemilan, atau membeli sebotol greentea. 

Aku masih ingat ketika suatu hari, aku sengaja datang ke rumahmu saat hari mulai petang. Sebelum aku berangkat, kau memintaku untuk membawa sebuah makanan, dan aku menurutinya. Padahal aku tahu, bahwa kau hanya bercanda. Tapi aku keras kepala, lantas kuputuskan untuk membeli martabak telor. 

Selepas makanan itu selesai dibuat, lantas kau langsung menuju kediamanmu. Setelah berada di depan gerbangmu, tiba-tiba Anti dengan baiknya membuka gerbang itu. Aku masuk. Kala itu rumahmu sedang ada Ardy dan Anty. Sedangkan Pipah menyusul. 

Setelah makanan itu telat mendarat tepat di ruang tamumu, tak ada seorang pun yang berani dari kita untuk memulai suapan pertama. Hingga pada akhirnya, Ardy dengan gagah berani membuka kotak tersebut dan mengambil secuil martabak. Di iringi dengan kita yang sebelumnya malu-malu, akhirnya ikut mengambil dengan wajah yang ragu-ragu.

Setelah itu, kau sontak menawariku perawatan kuku tangan. Dengan cepat aku menolaknya karena malu. Jika aku menerima tawaranmu, mungkin saja wajahku bisa berubah menjadi merah, disusul keringat dingin yang bercucuran. Setelahnya kau asyik menghiasi kukumu dengan Anti dan aku pun asyik bermain gitar dengan Ardy. Tak sama berselang, tiba-tiba Pipah pun datang.

Kita minim dialog kala itu. Setika tiba menjadi asing. Aku tidak menjadi orang yang humoris seperti saat kita sedang berdua. Aku menjelma menjadi sosok pendiam dengan rasa pengecut dalam hati. Mungkin karena aku sedang tidak percaya diri, lantas aku lebih memilih bisu seribu bahasa.

Kau pun asyik mengobrol dengan Anti dan Pipah. Aku hanya bernyanyi dengan niat mengiringi obrolanmu. Setelah waktu menunjukkan pukul 21:00, kita semua mengemasi barang-barang untuk hendak kembali pulang.

Setelah sampai rumah, kau menghubungiku dengan topik meminta maaf jika merepotkan. Padahal dalam hati, aku bergumam, semestinya aku yang meminta maaf. Karena telah menjadi sosok asing yang tidak sopan. Tidak sopan karena tidak mengajak tuan rumahnya berbincang.

Dalam topik chat, kau membicarakan soal boneka rajut yang engkau dambakan. Lalu kau pun mengunggah sebuah gambar boneka tersebut seraya berkata,

"Tuh aku pingin bikin boneka gitu atau gak apalah yang rajut gitu." Ujarmu, 

"Itu bagus, coba iseng bikin begituan." Kataku. 

"Iya ah mau, soalnya gemes, mau nangis." Balasmu, ditambah dengan emot menangis. Memang aneh.

Malam kita ditemani dengan bercengkrama hangat lewat layar sentuh. Tanpa suara dan tanpa tatapan mata. Dengan hikmatnya aku menikmati obrolan kecil kita. Walau aku jadi tidur larut malam, dan ujungnya kau meninggalkanku tidur lagi dan lagi.

Di pagi harinya, aku kembali menyapamu. Layaknya rutinitas, aku melakukan itu hampir setiap hari. Dan kau pun pasti hanya membalas sebatas ey. 

Waktu itu adalah hari terakhir di bulan Agustus. Siang harinya kau tiba-tiba bilang padaku, bahwa kau sedang butuh telinga untuk didengar. Sontak aku meng'iyakan apa yang kau mau.

Siang berganti malam. Di malam hari, kau mulai menanyakan perihal aku yang sukarela akan mendengarmu bercerita. Sontak kau memintaku untuk teleponan, bukan sekedar hanya mengetik di layar sentuh belaka. Aku pun lalu mengetuk simbol telepon.

Kala itu bercerita tentang mantanmu yang kau beri kesempatan kedua tangan niat untuk memperbaiki kesalahan, bukan untuk mengulangi kesalahan.

Katamu, kau sedang tersandung nestapa. Meratapi kenyataan yang tak semestinya dengan apa yang kau imajinasikan. Terkadang fiksi memang meninabobokan bukan ? Sampai-sampai kau terhanyut dalam kesedihan. Katamu, ia meninggalkanmu sendirian bersama dinginnya ujung bumi. Semestinya ia yang kau beri kesempatan kedua, adalah ia yang mampu menahan air matamu jatuh. Bukan membuat air matamu jatuh.

Seketika itu perasaanku tiba-tiba campur aduk oleh rasa kecewa yang terbalut dengan rasa kasihan. Namun aku masih sanggup untuk tidak meluapkannya. Kau menangis deras. Sampai-sampai tercipta air terjun di pelupuk matamu.

"Ah....sudahlah hentikan isakanmu, apa perlu menangisi orang yang tidak menjadikanmu prioritas ? Sesekali tak apa untuk tidak baik-baik saja, bahkan semua orang pernah berkabung." Kataku. 

Kau hanya terdiam mendengar ocehanku, sambil berusaha meredekan isakkanmu. Aku berbisik pada diri, sialan sama orang yang membuatmu nangis.

Setelah tangismu mulai meredam, aku kembali merasakan perasaanku yang kecewa. Ternyata selama ini posisiku hanya sebatas pemeran pengganti yang bertugas untuk menghibur hari-harimu yang suram. Ditambah, aku yang seakan-akan hanya sebagai buku harian yang kau isi dengan keluh kesahmu, tanpa kau peduli dengan perasaanku.

Sempat terbesit jika perbincangan malam itu adalah obrolan terakhir kita. Namun nyatanya di ujung percakapan, kau tiba-tiba memberiku apresiasi di tengah isak tangismu yang mulai mereda.

"Kau hadir ketika ia yang aku dambakan menghilang ke antah berantah. Kau ada disaat aku butuh seseorang untuk menjemputku. Kau mengingatkanku pada sebuah kegiatan yang akan kuhadiri sore itu. Sedangkan dia ? Ntah kemana. Peduli pun mungkin tidak." Ujarmu.

"Aku hadir karena aku peduli. Jika ia yang diberi kesempatan terbaik darimu tidak menghargainya, maka berikanlah dirimu kesempatan terbaik, karena kau berhak bahagia." Ujarku.

"Setelah peristiwa ini selesai dengan luka, selanjutnya apa yang akan kau lakukan ?." Lanjutku.

"Ikhlas membiarkan diri tenang, pasrah membiarkan diri kalah." Tutup mu.

Berkat dialog itu, seketika aku berubah pikiran. Kata-katamu, mampu menyentuh sanubariku. Tangan yang asalnya berusaha menggapai keluar dari kubangan ini, akhirnya di gagalkan oleh tanganmu.

Kemudian dengan cepatnya, tangis yang asalnya menghiasi teleponan malam itu, kini telah berubah dengan tawa pelikmu yang dibuat-buat. Bahkan dalam situasi seperti ini, kau masih berusaha tegar. Kita sama. Ntah terlalu pintar menyembunyikan perasaan, atau terlalu bodoh untuk menyatakannya.

Ingin sekali menasihatimu perihal orang yang tak bisa menghargaimu. Namun saat itu aku hanya memilih menjadi seorang pengecut yang tak berani menuangkan bisikan hati. Hatiku berbisik seperti ini, "Ia yang tak punya hati, jangan dimasukkan dalam hati. Jika ia ingin pergi dan berlabuh pada pelukan yang lainnya, maka biarlah. Perilah lara yang sedang menaung dalam hati, biar sendirinya menghilang. Ia tau kapan ia harus pergi. Kelak, sebuah kebahagian akan kembali hadir dalam diri."

Untuk beberapa saat, kau dan aku tidak pernah bolos untuk saling mengabari. Namun sayangnya, suasana itu lenyap ketika suatu hari kau tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Pada saat kabarmu tak lagi kudengar, ntah apa yang membuatku gengsi untuk memulai kembali percakapan denganmu. Alhasi kita hilang kontak.

Ego menghasutku untuk tidak berbincang lagi denganmu, sementara hatiku bersikeras memaksaku berbincang lagi denganmu. Logika dan perasaan pun berdebat hebat. Ntah apa yang kupilih. Di satu sisi, hatiku mulai terpapar rasa rindu padamu. Sedangkan di sisi lain, aku enggan menghubungimu. Mungkin kau pun sama. Bertahan di tepian keangkuhan, tak mau jadi orang pertama yang mengucap salam.

Ketika di suatu malam, rindu ini sudah tak terbendungkan. Aku mencari cara agar hati ini kunjung menenang. Lantas aku sadar, beberapa rindu memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat doa. Saat itu aku hanya berharap, kau mampu mengerti ari diamku.

Aku sadar, ragaku memang tertinggal disini, namun hatiku tetap tertinggal disana. Dalam dekapanmu. Dulu kau begitu riang untuk menuntunku melihat cahaya 'harapan'. Namun ketika aku menuntutmu, kau malah menggiringku dalam 'kegelapan'. Kau begitu lihai menuai harapan dihatiku. Kurang ajarkah jika hatiku berharap lebih setiap kali kau menyandarkan kepala lelahmu di bahuku ?

Ketiadaan kabarmu membuat rindu ini meradang. Beberapa kali rasa itu kuhempaskan ke langit. Membuatnya terjebak diantara mega. Namun sial, ketika hujan turun begitu lebat, butir air yang jatuh dengan deras, membuat rindu itu menegur hatiku dengan keras.

Sementara logika tak letih-letihnya menghadangku agar tidak kembali menyapamu. Alhasil peperangan antar otak dengan hati pun kembali terjadi. Dalam perseteruan kali ini, bisa kupastikan bahwa 'hati' keluar sebagai pemenang.

Lantas aku mendengarkan bisikan hati yang sedari dulu ingin menuangkan rasa ini. Aku memikirkan cara agar rindu yang menyesakkan dada, bisa musnah dengan mudah. Seketika terlintas dalam kepalaku, untuk sekedar melewat depan rumahmu.

Di malam hari, ketika angin berhembus dengan pelan, ketika rembulan menyorotku dengan temaram, aku diam-diam melintasi rumahmu. Mataku menoleh ke arah jendela kamarmu sejenak. Dalam hati, aku berharap, bahwa kau mampu menyadari keberadaanku.

Namun kenyataanya, tirai jendela kamarmu tak kunjung terbuka. Alhasil membuat usahaku jadi sia-sia. Namun tak apa, rindu yang asalnya menggebu-gebu, kini mulai memudar.

Dari sini aku mengerti, untuk melenyapkan rindu terhadap seseorang, bahwasannya kita tidak terlalu dituntut untuk melihat sosoknya. Bahkan hanya sekedar melewati sekitar kediamannya saja, rindu ini bisa terbias dengan sendirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun