Mohon tunggu...
Riffal Erlangga Putra
Riffal Erlangga Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terangkai Kisah

7 Januari 2024   14:41 Diperbarui: 7 Januari 2024   14:52 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika di suatu malam, rindu ini sudah tak terbendungkan. Aku mencari cara agar hati ini kunjung menenang. Lantas aku sadar, beberapa rindu memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat doa. Saat itu aku hanya berharap, kau mampu mengerti ari diamku.

Aku sadar, ragaku memang tertinggal disini, namun hatiku tetap tertinggal disana. Dalam dekapanmu. Dulu kau begitu riang untuk menuntunku melihat cahaya 'harapan'. Namun ketika aku menuntutmu, kau malah menggiringku dalam 'kegelapan'. Kau begitu lihai menuai harapan dihatiku. Kurang ajarkah jika hatiku berharap lebih setiap kali kau menyandarkan kepala lelahmu di bahuku ?

Ketiadaan kabarmu membuat rindu ini meradang. Beberapa kali rasa itu kuhempaskan ke langit. Membuatnya terjebak diantara mega. Namun sial, ketika hujan turun begitu lebat, butir air yang jatuh dengan deras, membuat rindu itu menegur hatiku dengan keras.

Sementara logika tak letih-letihnya menghadangku agar tidak kembali menyapamu. Alhasil peperangan antar otak dengan hati pun kembali terjadi. Dalam perseteruan kali ini, bisa kupastikan bahwa 'hati' keluar sebagai pemenang.

Lantas aku mendengarkan bisikan hati yang sedari dulu ingin menuangkan rasa ini. Aku memikirkan cara agar rindu yang menyesakkan dada, bisa musnah dengan mudah. Seketika terlintas dalam kepalaku, untuk sekedar melewat depan rumahmu.

Di malam hari, ketika angin berhembus dengan pelan, ketika rembulan menyorotku dengan temaram, aku diam-diam melintasi rumahmu. Mataku menoleh ke arah jendela kamarmu sejenak. Dalam hati, aku berharap, bahwa kau mampu menyadari keberadaanku.

Namun kenyataanya, tirai jendela kamarmu tak kunjung terbuka. Alhasil membuat usahaku jadi sia-sia. Namun tak apa, rindu yang asalnya menggebu-gebu, kini mulai memudar.

Dari sini aku mengerti, untuk melenyapkan rindu terhadap seseorang, bahwasannya kita tidak terlalu dituntut untuk melihat sosoknya. Bahkan hanya sekedar melewati sekitar kediamannya saja, rindu ini bisa terbias dengan sendirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun