Sempat terbesit jika perbincangan malam itu adalah obrolan terakhir kita. Namun nyatanya di ujung percakapan, kau tiba-tiba memberiku apresiasi di tengah isak tangismu yang mulai mereda.
"Kau hadir ketika ia yang aku dambakan menghilang ke antah berantah. Kau ada disaat aku butuh seseorang untuk menjemputku. Kau mengingatkanku pada sebuah kegiatan yang akan kuhadiri sore itu. Sedangkan dia ? Ntah kemana. Peduli pun mungkin tidak." Ujarmu.
"Aku hadir karena aku peduli. Jika ia yang diberi kesempatan terbaik darimu tidak menghargainya, maka berikanlah dirimu kesempatan terbaik, karena kau berhak bahagia." Ujarku.
"Setelah peristiwa ini selesai dengan luka, selanjutnya apa yang akan kau lakukan ?." Lanjutku.
"Ikhlas membiarkan diri tenang, pasrah membiarkan diri kalah." Tutup mu.
Berkat dialog itu, seketika aku berubah pikiran. Kata-katamu, mampu menyentuh sanubariku. Tangan yang asalnya berusaha menggapai keluar dari kubangan ini, akhirnya di gagalkan oleh tanganmu.
Kemudian dengan cepatnya, tangis yang asalnya menghiasi teleponan malam itu, kini telah berubah dengan tawa pelikmu yang dibuat-buat. Bahkan dalam situasi seperti ini, kau masih berusaha tegar. Kita sama. Ntah terlalu pintar menyembunyikan perasaan, atau terlalu bodoh untuk menyatakannya.
Ingin sekali menasihatimu perihal orang yang tak bisa menghargaimu. Namun saat itu aku hanya memilih menjadi seorang pengecut yang tak berani menuangkan bisikan hati. Hatiku berbisik seperti ini, "Ia yang tak punya hati, jangan dimasukkan dalam hati. Jika ia ingin pergi dan berlabuh pada pelukan yang lainnya, maka biarlah. Perilah lara yang sedang menaung dalam hati, biar sendirinya menghilang. Ia tau kapan ia harus pergi. Kelak, sebuah kebahagian akan kembali hadir dalam diri."
Untuk beberapa saat, kau dan aku tidak pernah bolos untuk saling mengabari. Namun sayangnya, suasana itu lenyap ketika suatu hari kau tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Pada saat kabarmu tak lagi kudengar, ntah apa yang membuatku gengsi untuk memulai kembali percakapan denganmu. Alhasi kita hilang kontak.
Ego menghasutku untuk tidak berbincang lagi denganmu, sementara hatiku bersikeras memaksaku berbincang lagi denganmu. Logika dan perasaan pun berdebat hebat. Ntah apa yang kupilih. Di satu sisi, hatiku mulai terpapar rasa rindu padamu. Sedangkan di sisi lain, aku enggan menghubungimu. Mungkin kau pun sama. Bertahan di tepian keangkuhan, tak mau jadi orang pertama yang mengucap salam.