"Iya ah mau, soalnya gemes, mau nangis." Balasmu, ditambah dengan emot menangis. Memang aneh.
Malam kita ditemani dengan bercengkrama hangat lewat layar sentuh. Tanpa suara dan tanpa tatapan mata. Dengan hikmatnya aku menikmati obrolan kecil kita. Walau aku jadi tidur larut malam, dan ujungnya kau meninggalkanku tidur lagi dan lagi.
Di pagi harinya, aku kembali menyapamu. Layaknya rutinitas, aku melakukan itu hampir setiap hari. Dan kau pun pasti hanya membalas sebatas ey.Â
Waktu itu adalah hari terakhir di bulan Agustus. Siang harinya kau tiba-tiba bilang padaku, bahwa kau sedang butuh telinga untuk didengar. Sontak aku meng'iyakan apa yang kau mau.
Siang berganti malam. Di malam hari, kau mulai menanyakan perihal aku yang sukarela akan mendengarmu bercerita. Sontak kau memintaku untuk teleponan, bukan sekedar hanya mengetik di layar sentuh belaka. Aku pun lalu mengetuk simbol telepon.
Kala itu bercerita tentang mantanmu yang kau beri kesempatan kedua tangan niat untuk memperbaiki kesalahan, bukan untuk mengulangi kesalahan.
Katamu, kau sedang tersandung nestapa. Meratapi kenyataan yang tak semestinya dengan apa yang kau imajinasikan. Terkadang fiksi memang meninabobokan bukan ? Sampai-sampai kau terhanyut dalam kesedihan. Katamu, ia meninggalkanmu sendirian bersama dinginnya ujung bumi. Semestinya ia yang kau beri kesempatan kedua, adalah ia yang mampu menahan air matamu jatuh. Bukan membuat air matamu jatuh.
Seketika itu perasaanku tiba-tiba campur aduk oleh rasa kecewa yang terbalut dengan rasa kasihan. Namun aku masih sanggup untuk tidak meluapkannya. Kau menangis deras. Sampai-sampai tercipta air terjun di pelupuk matamu.
"Ah....sudahlah hentikan isakanmu, apa perlu menangisi orang yang tidak menjadikanmu prioritas ? Sesekali tak apa untuk tidak baik-baik saja, bahkan semua orang pernah berkabung." Kataku.Â
Kau hanya terdiam mendengar ocehanku, sambil berusaha meredekan isakkanmu. Aku berbisik pada diri, sialan sama orang yang membuatmu nangis.
Setelah tangismu mulai meredam, aku kembali merasakan perasaanku yang kecewa. Ternyata selama ini posisiku hanya sebatas pemeran pengganti yang bertugas untuk menghibur hari-harimu yang suram. Ditambah, aku yang seakan-akan hanya sebagai buku harian yang kau isi dengan keluh kesahmu, tanpa kau peduli dengan perasaanku.