"Mau pulang buk....? Naik lah, sebentar lagi kita akan berangkat," kata supir angkot yang dari tadi, sibuk menunggu penumpang. Tak seperti biasanya, mereka tidak menggunakan jasa agen. Yah, biasanya agenlah pencari penumpang. Mereka para agen ini, mencari calon penumpangnya di sekitar pasar, atau terminal angkutan kota, setelah, angkot penuh dengan penumpang, barulah dibayar oleh supir angkot, sebagai penghasilan mereka satu kali trayek itu. Tapi itu dulu, ketika belum ada banyak yang memiliki motor dan mobil pribadi. Beda dengan sekarang, Â anak sekolah yang belum cukup umur pun, sudah memiliki motor, dan mengendarainya dengan alasan supaya tidak terlambat sekolah. Entah bagaimana cara mereka mengurus surat izin mengemudinya.
"Yup," jawabku mantap, sambil berjalan ke arah angkotnya.
"Tunggu sebentar ya bu, ini angkot terakhir, masih banyak yang masih berkeliaran, dan  berjualan di pantai, kasihan mereka kalau tidak ditunggu" pinta supir angkot pada ku.
"Ok'" Jawabku lagi, memahami kondisi, karena cuma aku sendiri saja yang masih didalam angkot kuning langganan ku ini.
Dia memintaku untuk sedikit bersabar. Mau tidak mau aku harus aku iyakan, karena kasihan juga, kalau marah pun tidak ada gunanya. Agar tidak bosan, aku menghabiskan waktu, dengan memainkan androidku, scroll social media atau main game, atau mengeluarkan buku bacaan kecil yang sengaja kuselipkan di dalam tas, untuk kubaca dalam dimana saja, termasuk di angkot ini.Â
Kami langganan angkot trayek terakhir, penumpang kami beragam, cerita hidup mereka pun beragam. kami sering membicarakan apa saja di dalam angkot, sepanjang jalan sebelum sampai tujuan kami masing-masing. Adalah Etek Baidar, Andeh Mawar, Uni Roih, Etek Siti, Fitri, Upik, Pak Inggi, Mak Itam adalah langganan angkot itu. Kami saling tunggu-menunggu, jangan sampai ada mereka yang tertinggal dan pulang naik ojek atau bus dari padang, begitu tingginya solidaritas dari mereka.
Jika mereka sudah berkumpul, angkot yang kami tumpangi langsung penuh, sesak, dan supir pun langsung menghidupkan mesin, kami siap, untuk berangkat. Suasana didalam menjadi ramai dengan ocehan mereka. Canda dan tawa mereka, riang gembiranya, kelihatannya tidak ada kesusahan dan beban hidup yang mereka pikul, padahal mereka mencari sesuap nasi hanya dengan berjualan makanan ringan kepada pengunjung pantai. Etek Baidar adalah seorang single parent, anaknya tiga orang, suaminya mencampakkannya ketika si bungsu mereka masih dalam gendongan. Dialah yang menjadi tulang punggung keluarga, mencari penghidupan buat makan dengan berjualan makanan tradisional di sekitar pantai Gandoriah. Berkat kegigihannya dia berhasil menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi negeri di Padang dengan bantuan program bidik misi. Inilah etek ku yang paling gigih dan selalu tersenyum, jiwa dan semangat muda terpancar dari raut wajahnya, yang selalu riang. Tidak nampak hidupnya penuh beban dan penderitaan akibat ulah suami dan mertua yang menyalahkannya. Ditambah lagi dengan orientasinya  yang tinggi agar anak-anak bersekolah patut diacungi jempol.
Andeh Mawar juga mempunyai profesi yang sama dengan Etek Baidar, dia ditinggal mati suaminya, juga berjuang menafkahi anak-anaknya, dia tipe wanita yang gigih juga tapi selalu serius dan tidak seceria Etek Baidar. Begitu juga dengan Uni Roih yang mengalami nasib hampir sama, karena berjuang juga untuk kesembuhan suami yang lagi sakit keras. Uni Roih masih muda belia, paling cantik diantara ibu-ibu pedagang yang menjadi pelanggan angkot kami. Semua supir angkot sering menggodanya, tapi dia punya cara yang jitu, untuk menolak dengan ramah. Srikandi yang terakhir, yang juga menjadi pejuang nafkah keluarga adalah Etek Siti, aku kurang menyukai Etek satu ini, dia selalu mendominasi pembicaraan, menyerobot calon pembeli diantara mereka, suka seenaknya. Bahkan sering bertengkar dengan sesama pedang di pantai Gandoriah, dia egois, tak hanya memonopoli di dalam angkot saja, tapi suka memaksakan barang dagangannya kepada pengunjung pantai, teman-temannya pun kurang menyukainya. Tapi dasar Tek Siti, dia bebal dan acuh dengan penilaian. Walaupun begitu mereka selalu saling menyayangi, bertoleransi, dan saling tolong menolong. Aku salut pada persahabatan mereka.
Fitri juga menjadi langganan angkot kuning itu, dia pulang setelah rumah makan tempatnya bekerja  di tutup pada sore hari. Dialah selalu optimis, ramah, murah senyum, selalu menyapa siapa saja. Dan yang terakhir, adalah Upik, gadis yang masih sekolah itu sengaja drop out dari sekolah menengah atasnya, dia tidak berminat lagi untuk melanjutkan pendidikan, malas adalah alasan pamungkasnya. Kemudian, dia memilih bekerja di toko buku. Upik pintar bernyanyi, suaranya merdu, dia menjadi penyanyi orgen tunggal amatiran, di setiap hajatan. Mungkin susah bangun pagi, menjadi alasannya baginya malas berangkat ke sekolah, sangat ku sayangkan. Yang membuat aku sedih dia juga penyanyi sawer di orgen tunggal itu, kasihan dengan gadis belia itu, tapi itu pilihannya. Nasehat dari mereka yang dalam angkot itupun tidak mempan untuknya.Â
Kadang aku suka sedih jika ada anak yang putus sekolah, dan menyayangkan orang tua mereka yang tidak peduli dengan pendidikan anaknya. Apakah se remeh-temeh itukah pendidikan dalam diri kebanyak para orang tua. Mungkin suatu saat nanti, harapan ku, Jika suatu saat, bertemu dengan orang yang malas belajar di sekolah, mereka  beralasan pada ku "kurikulumnya pendidikan di negeri ini, nggak cocok dengan aku tante." apakah aku akan bertemu dengan anak yang terlalu pintar, di kampung ku ini? Entahlah.Â