Mohon tunggu...
Rifatul Aliyah
Rifatul Aliyah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Terus menjadi lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Asyik Di PAUD Melalui "Experiential Learning": Membangun Dasar Fondasi Generasi Emas

25 Desember 2024   21:00 Diperbarui: 25 Desember 2024   20:19 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan fondasi krusial bagi perkembangan individu di masa depan. Periode ini adalah masa emas (golden age) di mana otak anak berkembang pesat dan pengalaman belajar yang bermakna akan membentuk dasar bagi kemampuan kognitif, sosial-emosional, dan fisik mereka (Shonkoff et al., 2012). Salah satu pendekatan pembelajaran yang sangat relevan dan efektif untuk PAUD adalah experiential learning (pembelajaran berbasis pengalaman). Pendekatan ini, yang menekankan "belajar dengan melakukan" (learning by doing), selaras dengan cara anak-anak secara alami belajar dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Artikel ini akan membahas konsep experiential learning, kaitannya dengan teori kognitif, dan memberikan rekomendasi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, khususnya di jenjang PAUD.

Experiential learning bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan sebuah siklus pembelajaran yang melibatkan pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi, dan penerapan (Kolb, 1984). Kolb menjelaskan bahwa pembelajaran terjadi ketika individu merefleksikan pengalaman mereka, membentuk konsep abstrak berdasarkan refleksi tersebut, dan kemudian menguji konsep baru melalui tindakan. Proses ini membentuk siklus yang berkelanjutan, di mana pengalaman baru memicu refleksi dan pembelajaran lebih lanjut. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada individu (Rogers, 1969), di mana pengalaman langsung memberikan pemahaman yang mendalam dan berkelanjutan. Sejalan dengan itu, Lewin (1946) menekankan pentingnya pengalaman praktis, keterlibatan aktif, dan refleksi mendalam untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik. Piaget (1973) juga menekankan bahwa anak membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan fisik dan sosial mereka, menjadikan pengalaman langsung sebagai landasan utama pembelajaran.

Konsep model experiential learning terdiri dari empat tahapan yang saling berkaitan: concern experience (pengalaman konkret) yang menekankan perasaan dan keterlibatan siswa; reflective observation/abstract (observasi reflektif/abstrak) yang mengajak siswa mengamati dan merefleksikan pengalaman; abstract conceptualization (konseptualisasi abstrak) di mana siswa menciptakan konsep dan teori berdasarkan observasi; dan active experimentation (eksperimentasi aktif) di mana siswa menerapkan teori untuk memecahkan masalah. Prosedur pembelajaran experiential learning dapat diimplementasikan melalui kegiatan pembukaan (bercerita, menonton video, kuis), kegiatan inti (menggambar, praktik dengan media, membuat replika), dan kegiatan penutup (analisis, pencarian solusi, refleksi, dan penciptaan konsep baru).

Experiential learning memiliki banyak kelebihan, di antaranya pembelajaran yang lebih bermakna (memiliki significant design yang tinggi), keterlibatan aktif siswa, interaksi sosial, penemuan solusi, fokus pada pengalaman, daya ingat yang tinggi, serta pengembangan kreativitas, keterampilan, dan motivasi. Namun, terdapat pula beberapa kekurangan, seperti kebutuhan biaya dan alat yang memadai, waktu yang dibutuhkan, kesulitan dalam penilaian yang objektif, dan fakta bahwa tidak semua anak mungkin tertarik atau cocok dengan pendekatan ini (Beard and Wilson, 2022). Selain itu, Michelson dan Beard (2022) juga menyoroti potensi interpretasi yang beragam dan kurangnya homogenitas dalam pembelajaran ini.

Experiential learning sangat erat kaitannya dengan teori-teori kognitif, khususnya teori perkembangan kognitif Piaget dan teori sosiokultural Vygotsky. Piaget menekankan bahwa anak membangun pengetahuan melalui interaksi aktif dengan lingkungan, di mana bermain merupakan sarana penting untuk eksplorasi dan eksperimentasi (Piaget, 1973). Experiential learning menyediakan pengalaman konkret yang memungkinkan anak membangun pemahaman melalui asimilasi dan akomodasi. Vygotsky menekankan peran interaksi sosial dan zone of proximal development (ZPD) dalam pembelajaran (Vygotsky, 1978). Experiential learning, dengan penekanan pada interaksi dan kolaborasi, menciptakan lingkungan yang mendukung ZPD, di mana anak dapat belajar dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya.

Teori kognitif modern, seperti embodied cognition (kognisi mewujud) semakin memperkuat pentingnya pengalaman sensorimotor dalam pembelajaran (Wilson, 2002). Teori ini berpendapat bahwa kognisi tidak hanya terjadi di otak, tetapi juga dipengaruhi oleh interaksi tubuh dengan lingkungan. Experiential learning, dengan penekanan pada pengalaman langsung, mendukung prinsip ini dengan melibatkan seluruh indra dan tubuh dalam proses pembelajaran, sehingga memperkaya representasi mental dan pemahaman anak.

Untuk mengoptimalkan penerapan experiential learning di Indonesia, khususnya di jenjang PAUD, beberapa rekomendasi berikut dapat dipertimbangkan diantaranya mengintegrasi experiential learning dalam Kurikulum PAUD dengan melakukan revisi secara eksplisit memasukkan prinsip-prinsip experiential learning dan kegiatan pembelajaran harus dirancang untuk memberikan pengalaman konkret yang relevan dengan perkembangan anak usia dini. Pelatihan Guru PAUD juga perlu dilakukan secara komprehensif, dimana Guru PAUD perlu mendapatkan pelatihan yang memadai tentang experiential learning, termasuk cara merancang kegiatan yang menarik dan bermakna, memfasilitasi refleksi, dan menilai pembelajaran secara holistik. Perlu menciptakan lingkungan belajar yang kaya untuk merangsang eksplorasi dan interaksi anak, dengan menyediakan berbagai alat, bahan, dan ruang yang mendukung kegiatan experiential. Selain itu kemitraan dengan orang tua dan komunitas perlu dibangun dengan baik dengan melibatkan mereka dalam kegiatan pembelajaran agar dapat memperkaya pengalaman anak dan memperkuat hubungan antara sekolah dan rumah. serta perlu dilakukan penelitian dan pengembangan berkelanjutan untuk mengukur dampak experiential learning dalam konteks Indonesia dan mengembangkan praktik terbaik yang sesuai dengan budaya dan kebutuhan lokal. Dengan mengimplementasikan hal ini, Indonesia dapat membangun fondasi yang kuat bagi generasi emas melalui pembelajaran yang asyik dan bermakna di PAUD, mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan dan meraih kesuksesan di masa depan.

Daftar Pustaka

Beard, C., & Wilson, J. P. (2022). Experiential learning: A handbook for education, training and coaching. Kogan Page Publishers.

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Lewin, K. (1946). Action research and minority problems. Journal of social issues,1 2(4), 34-46.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun