Baru saja kemarin kita merayakan gegap gempitanya proses pemilu untuk pemilihan walikota/bupati dan juga gubernur. Namun ada yang menarik dalam perhelatan demokrasi ini. Walaupun bukan merupakan suatu causal relationship, ada kecenderungan bahwa sebelum masa pemilu berlangsung, penggunaan lahan akan meningkat dalam artian penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
Pada daerah-daerah yang masih memiliki hutan dengan jumlah yang signifikan, potensi deforestasi dan korupsi dapat meningkat. Hal ini dikarenakan perizinan pembukaan lahan dijadikan sebagai modal untuk maju pilkada. Tentu hal ini menimbulkan kecurigaan apakah izin membuka lahan ini sudah dijalankan sesuai prosedur? Terlebih lagi memang ada kecenderungan lahan tersebut merupakan easy cash untuk diekstrak ataupun dijual kepada pengusaha.
Daerah-daerah yang dikategorikan kaya akan sumber daya alam seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Papua menjadi daerah yang disorot mengenai hal ini. Aktivis-aktivis lingkungan sudah mewanti-wanti untuk mencegah agar hal ini tidak terjadi. Penguatan hukum dan implementasi regulasi yang baik menjadi kunci agar kejadian serupa tidak terjadi.
Kita menyadari bahwa pemilihan umum melibatkan uang yang sangat besar. Dikutip dari berita kumparan yang berjudul "5 tokoh yang pernah singgung soal mahalnya pilkada", setidaknya beberapa kepala daerah mengeluhkan mahalnya kontestasi politik lima tahunan ini akibat dari tidak efisiennya dinamika dan mekanisme politik di Indonesia yang mensyaratkan bahwa setiap kepala daerah yang ingin maju pilkada harus punya uang ekstra.
Buah kebijakan desentralisasi?
Desentralisasi bagi sebagian besar masyarakat disebut sebagai anugrah pasca reformasi. Dengan adanya tanggung jawab dan kekuasaan lebih di tangan pemereintah daerah, diharapkan terjadi transisi pembangunan dari java-centrist menuju Indonesia-centrist. Pembagian kekuasaan yang merata dengan memanfaatkan sumber daya daerah akan menstimulasi pembangunan daerah yang menyebabkan seimbangnya distribusi kesejahteraan hingga pelosok Indonesia.
Namun, konsep ini tidak lepas dari praktik kotor. Para pejabat yang memiliki niat tidak baik akan memanfaatkan situasi ini untuk memperkaya diri sendiri. Pembagian kekuasaan yang merata bisa berarti juga peluang korupsi yang merata di setiap daerah. Praktik ini adalah salah satunya perihal pemanfaatan lahan. Pemanfaatan lahan sering menjadi batu sandungan para pejabat daerah dalam kasus pelepasan Kawasan hutan menjadi non-hutan dengan ditandai dengan logging dari yang legal sampai yang illegal.
Dalam penelitian Burgess et al. (2011) yang berjudul The Political Economy of Deforestation, pembalakan liar di Indonesia memperlihatkan tren meningkat pada tahun pemilihan dan disebut dengan political logging cycles. Hal ini sangat mengancam kelangsungan hutan dan ekosistem. Bisa kita bayangkan bahwa kecenderungan ketersediaan sumber daya hutan menjadi menurun setiap kali akan diadakannya pemilihan umum.
Hal ini semakin memperlihatkan bahwa paradoks resource curse semakin nyata ada di Indonesia. Mindset yang menyebabkan sumber daya alam dikorbankan untuk kepentingan politik karena dilihat sebagai sumber daya yang dapat secara cepat untuk dijual dan uangnya dijadikan sebagai modal politik. Hal ini berpotensi menyebabkan konflik sosial dan menimbulkan ketidakadilan dan tidak ratanya distribusi kesejahteraan. Selalu ada saja hak-hak masyarakat yang diserobot dari praktik-praktik seperti ini.
Setidaknya fungsi hutan sebagai penyangga hidup akan terganggu. Walaupun sulit menyimpulkan bahwa seorang pejabat melakukan mal-administrasi terkait izin kawasan untuk keperluan pemenangan pemilu, banyak kita lihat abuse of power yang dilakukan oleh pejabat daerah. Dikutip dari artikel tirto.id dengan judul "Dalam 13 tahun, 56 kepala daerah jadi terpidana korupsi" beberapa kasus menceritakan bagaimana kepala daerah menerima suap terkait kegiatan kehutanan dan pelepasan kawasan.
Misalnya, Bupati Siak periode 2001-2011 yang menerima suap terkait penerbitan Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman, Rusli Zainal Gubernur Riau 2003-2013 terkait penerbitan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman, dan juga Bupati Bogor Rahmat Yasin perihal Tukar Menukar Kawasan Hutan. Â
Skema
Penelitian tersebut mengambil rentang waktu dari tahun 2001 hingga 2008 dan berdasarkan penelitian tersebut, pada suatu daerah yang memiliki peraturan tentang Kawasan konservasi dan lindung mencatat bahwa setidaknya pembalakan liar meningkat sebanyak 29% dari dua tahun sebelum pemilihan berlangsung dan 42% dari setahun sebelum dilaksanakannya pemilihan dan berkurang sebanyak 36% secara berkala dan tidak berlanjut pada tahun berikutnya. Hal ini menjelaskan bahwa adanya kemungkinan transaksi politik untuk menyiapkan logistik pemilu tahun yang akan datang.Â
Jika kita melihat pada tren tersebut, ada beberapa penjelasan skema dari tahun terjadinya pembalakan liar hingga tahun pemilihan. Yang pertama, pejabat yang sudah menjabat selama dua periode akan memaksimalkan pendapatannya melalui pembalakan liar sebelum masa jabatannya habis. Yang kedua, pejabat yang akan melanjutkan ke periode kedua, melakukan pembalakan liar untuk mempersiapkan logistiknya untuk berkampanye dan juga untuk mengamankan jatahnya alih-alih tidak terpilih lagi untuk periode kedua.
Ini mungkin hanya beberapa skema yang terobservasi dan masih banyak lagi skema seperti pelepasan Kawasan hutan dengan perjanjian dengan pengusaha dan lain lain. Ironis memang, menggadaikan kekuasaan jangka pendek untuk kehidupan jangka panjang. Selain illegal logging, skema lain adalah dengan menjual kebijakan.
Hal ini yang paling sering terekspos karena keterlibatan lebih jelas antara pengusaha dan penguasa, ada hitam diatas putih, dan pelanggaran ada buktinya. Dibandingkan dengan pembalakan liar, kasus "jualan" kebijakan lebih sering menjadi berita dikarenakan memang untuk kasus pembalakan liar, investigasi yang dilakukan lebih kompleks dan proses pencairan uangnya lebih lama daripada kegiatan menjual kebijakan.Â
Strategi
Bagaimanapun, politik tetap dianggap sebagai konsep untuk mencapai setinggi-tingginya kesejahteraan. Namun, cara dan metode yang digunakan memengaruhi kemana arah pembangunan khususnya pembangunan berbasis lingkungan. Sebagai pemilih yang cerdas, sudah seharusnya kita mencermati track-record keberpihakan pasangan calon terhadap isu lingkungan terutama deforestasi. Hal ini mencegah berlanjutnya deforestasi pada tahun-tahun berikutnya.
Pemilih yang cerdas adalah pemilih yang menggunakan logika untuk setiap pilihannya. Selain itu, perlu adanya penguatan terhadap hukum Indonesia terutama yang berhubungan dengan Kawasan hutan dan juga sanksinya. Hal ini diperlukan untuk mengamankan hutan yang masih tersisa dan juga membuat jera para pelaku pembalakan liar dan juga penjual kebijakan.
Selain itu, penguatan peraturan tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) daerah maupun provinsi pun seharusnya sudah disempurnakan seluruh daerah untuk mengatur tata kelola lahan agar tidak terjadi lagi deforestasi maupun degradasi hutan.
Sekali lagi, tahun politik merupakan tahun dimana nasib rakyat Indonesia dipertaruhkan. Bukan hanya nasib manusia yang dikorbankan, nasib dari keberlangsungan lingkungan hidup juga dipertaruhkan. Sudah saatnya berpihak kepada pemimpin yang memiliki wawasan lingkungan untuk menjamin keberlangsungan hidup anak cucu dan juga pemuda Indonesia yang berpotensi untuk membawa Indonesia ke masa keemasan.
Pemuda harus menjadi garda terdepan mengawal pesta demokrasi ini dan juga harus kritis terhadap pembangunan terutama untuk isu lingkungan hidup yang ada di Indonesia. Masih ada kesempatan untuk membangun hutan untuk keseimbangan alam Indonesia dan juga menjadi kritis untuk keberlangsungan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H