Mohon tunggu...
Rifan Abdul Azis
Rifan Abdul Azis Mohon Tunggu... Penulis - duduak samo randah tagak samo tinggi

duduk sama rendah berdiri sama tinggi

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisis Perbandingan APBNP 2016 dengan RAPBN 2017, Perekonomian Indonesia Dalam Bahaya

8 September 2016   06:56 Diperbarui: 29 Januari 2017   22:14 6325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Data: Diolah dari Kemenkeu

Bila kita tarik kebelakang perbandingan APBNP 2016 dan RAPBN 2017 tidak jauh berbeda dengan APBNP 2015 dan RAPBN 2016 yaitu kebijakan ekonomi neoliberal kemarin kembali diberlakukan sekarang. Ciri khasnya adalah subsidi yang terus dikurangi dan hutang yang terus ditumpuk. Namun keadaan RAPBN 2017 justru lebih mengkhawatirkan, banyak pengurangan disegala sisi juga neraca keseimbangan primer yang negatif sungguh sangat memprihatinkan. Selain itu ancaman kekurangan penerimaan negara dari pajak (shortfall) juga membayangi penerimaan 2016. Dan pemangkasan jilid III juga didepan mata.

Penerimaan

Bila kita lihat dari diagram diatas penerimaan negara menurun menjadi Rp 1.737T ini menandakan gagalnya pemerintahan Jokowi untuk mengurus perekonomian di Indonesia, tidak dapat dipungkiri kita semua khususnya kaum kelas menengah sangat merasakan dampak memburuknya ekonomi Indonesia yang semakin neoliberal ini. Tanyakanlah pada pedagang-pedagang kecil dan menengah seperti tukang baso, mie ayam, cuanki, seblak, toko-toko kecil atau menengah dll. tanyakanlah pada mereka tentang omsetnya. Sepanjang pemerintahan Jokowi saya sering menanyakan mereka dan sebagian besar dari mereka mengeluh karena omsetnya turun.

Namun ditengah-tengan turunya omset mereka dan keluhan mereka rakyat mayoritas negeri ini, justru beberapa waktu lalu Bank BRI yang katanya merakyat merayakan keuntungannya yang semakin tinggi juga berpesta pora dengan menerbangkan satelitenya ke angkasa dengan begitu bangganya. Juga KCIC yang membawa buruh dari Cina bersuka ria bekerja di tanah air kita tercinta dengan upah diatas sepuluh juta. Meminjam kembali istilah ekonom kita Faisal Basri itulah“Pesta Pora Kapitalis Kroni”

Sumber Data: Diolah dari Kemenkeu
Sumber Data: Diolah dari Kemenkeu
Bila kita lihat secara spesifik penerimaan RAPBN 2017 hampir disegala sisi mengalami penurunan kecuali cukai yang naik, mungkin rokok yang Rp 50K itu benar-benar akan dinyatakan di tengah-tengah realitas kehidupan rakyat yang semakin tercekik ini. Bagaimanapun juga penerimaan yang menurun disegala sisi ini tentunya menandakan harapan kosong kedatangan Sri Mulyani ke Indonesia.

Presiden Joko Widodo mengatakan, RAPBN tahun 2017 disusun dengan tetap berpedoman pada kebijakan perpajakan, belanja, dan pembiayaan(Pikiran Rakyat 16/8/2016). Pedoman ekonomi kapitalis yang penerimaannya fokus di pajak ini terbukti mencekik rakyat dan tidak pernah memberikan kesejahteraan yang merata di Indonesia. Pedoman ini menggambarkan beban pembayaran rakyat makin besar, sementara pada sisi belanja beban rakyat juga makin berat. Walau penerimaan pajak menurun Sri Mulyani tetap akan berencana untuk mengakali pajak-pajak yang bisa dipungut dari rakyat seperti yang disebutkan dalam wawancara di majalah Tempo (22/8/2016).

Pengeluaran / Balanja

Sumber Data: Diolah dari Kemenkeu
Sumber Data: Diolah dari Kemenkeu
Belanja pemerintah juga turun sekitar Rp 10T dan inilah APBN sistem ekonomi kapitalis dengan kebijakan neoliberalnya, pasti pengeluaran selalu lebih besar dari pemasukan, pasti selalu defisit. Suatu keberuntungan yang luar bisa bila APBN kapitalis rezim neolib ini mengalami keseimbangan dan tak usah kita jauh-jauh menghayal mengalami surplus dengan APBN yang berpedoman pada pedoman kapitalis ini.

Sumber Data: Diolah dari Kemenkeu
Sumber Data: Diolah dari Kemenkeu
Subsidi terus dikurangi dari tahun ketahun ini benar-benar menandakan kejayaan neoliberalisme di Indonesia. Untuk RAPBN 2017 masing-masing subsidi energi dan non-energi dikurangi sekitar Rp 2T dan Rp 1T, benar-benar tidak pro-rakyat. Lalu yang cukup mencengangkan adalah kenaikan pembayaran bunga hutang yaitu yang asalnya Rp 191,2T menjadi Rp 221,4T (ini baru bayar bunganya). Memang benar Jokowi mengatakan fokus kebijakan belanja, antara lain untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur, perlindungan sosial, subsidi yang lebih tepat sasaran, dan penguatan desentralisasi fiskal.(ibid) Namun apa artinya itu semua bila pembayaran bunga hutang semakin menanjak dan  dan neraca keseimbangan primer negatif? Negara sedang melaksanakan bunuh diri ekonomi namanya disamping juga transfer daerah yang turun hampir Rp 30T dan belanja kementrian yang juga turun.

Memang ada kenaikan pada belanja non-kementrian dan dana desa, namun sekali lagi apa artinya itu semua bila hal-hal krusial seperti subsidi justru dikurangi dan hal krusial lainnya seperti cengkraman hutang yang terus mencekik dan membayangi? Debt servis ratio (DSR) akan semakin tinggi dan untuk itu pasti ada pengorbanan dengan mengorbankan dana-dana lainnya untuk membayar hutang. Setelah melewati ambang batas DSR, maka hutang luar negeri akan menghambat perekonomian Indonesia karena semakin besar DSR akan semakin besar pula alokasi dana yang digunakan untuk membayar hutang yang akan mengorbankan kesejahteraan rakyat.

Selain itu pengurangan belanja juga pasti berdampak pada pertumbuhan ekonomi. diprediksinya pertumbuhan ekonomi akan turun 0,1% dari 5,2% menjadi 5,1% dan pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang turun dan dibawah 6-7% ini menandakan keberadaan ekonomi Indonesia yang menuju jurang bahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun