Bila kita tarik kebelakang perbandingan APBNP 2016 dan RAPBN 2017 tidak jauh berbeda dengan APBNP 2015 dan RAPBN 2016 yaitu kebijakan ekonomi neoliberal kemarin kembali diberlakukan sekarang. Ciri khasnya adalah subsidi yang terus dikurangi dan hutang yang terus ditumpuk. Namun keadaan RAPBN 2017 justru lebih mengkhawatirkan, banyak pengurangan disegala sisi juga neraca keseimbangan primer yang negatif sungguh sangat memprihatinkan. Selain itu ancaman kekurangan penerimaan negara dari pajak (shortfall) juga membayangi penerimaan 2016. Dan pemangkasan jilid III juga didepan mata.
Penerimaan
Bila kita lihat dari diagram diatas penerimaan negara menurun menjadi Rp 1.737T ini menandakan gagalnya pemerintahan Jokowi untuk mengurus perekonomian di Indonesia, tidak dapat dipungkiri kita semua khususnya kaum kelas menengah sangat merasakan dampak memburuknya ekonomi Indonesia yang semakin neoliberal ini. Tanyakanlah pada pedagang-pedagang kecil dan menengah seperti tukang baso, mie ayam, cuanki, seblak, toko-toko kecil atau menengah dll. tanyakanlah pada mereka tentang omsetnya. Sepanjang pemerintahan Jokowi saya sering menanyakan mereka dan sebagian besar dari mereka mengeluh karena omsetnya turun.
Namun ditengah-tengan turunya omset mereka dan keluhan mereka rakyat mayoritas negeri ini, justru beberapa waktu lalu Bank BRI yang katanya merakyat merayakan keuntungannya yang semakin tinggi juga berpesta pora dengan menerbangkan satelitenya ke angkasa dengan begitu bangganya. Juga KCIC yang membawa buruh dari Cina bersuka ria bekerja di tanah air kita tercinta dengan upah diatas sepuluh juta. Meminjam kembali istilah ekonom kita Faisal Basri itulah“Pesta Pora Kapitalis Kroni”
Presiden Joko Widodo mengatakan, RAPBN tahun 2017 disusun dengan tetap berpedoman pada kebijakan perpajakan, belanja, dan pembiayaan(Pikiran Rakyat 16/8/2016). Pedoman ekonomi kapitalis yang penerimaannya fokus di pajak ini terbukti mencekik rakyat dan tidak pernah memberikan kesejahteraan yang merata di Indonesia. Pedoman ini menggambarkan beban pembayaran rakyat makin besar, sementara pada sisi belanja beban rakyat juga makin berat. Walau penerimaan pajak menurun Sri Mulyani tetap akan berencana untuk mengakali pajak-pajak yang bisa dipungut dari rakyat seperti yang disebutkan dalam wawancara di majalah Tempo (22/8/2016).
Pengeluaran / Balanja
Memang ada kenaikan pada belanja non-kementrian dan dana desa, namun sekali lagi apa artinya itu semua bila hal-hal krusial seperti subsidi justru dikurangi dan hal krusial lainnya seperti cengkraman hutang yang terus mencekik dan membayangi? Debt servis ratio (DSR) akan semakin tinggi dan untuk itu pasti ada pengorbanan dengan mengorbankan dana-dana lainnya untuk membayar hutang. Setelah melewati ambang batas DSR, maka hutang luar negeri akan menghambat perekonomian Indonesia karena semakin besar DSR akan semakin besar pula alokasi dana yang digunakan untuk membayar hutang yang akan mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Selain itu pengurangan belanja juga pasti berdampak pada pertumbuhan ekonomi. diprediksinya pertumbuhan ekonomi akan turun 0,1% dari 5,2% menjadi 5,1% dan pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang turun dan dibawah 6-7% ini menandakan keberadaan ekonomi Indonesia yang menuju jurang bahaya.