Baca Juga : Mitos Ibu
Akhirnya keluarga besar Sutoro pindah  novelis horor, saya butuh suasana demikian.Sejujurnya, saya orang penakut. Istri lebih penakut. Anak-anak terlebih penakut. Agar tercapai kesepakatan, saya memilih rumah semi ketimbang rumah full menyeramkan.Jangan kata saya miskin karena tiap tahun harus pindah kontrakan. Saya bisa  membeli satu atau dua rumah. Jangan kata pula karena saya tak secocokan dengan pemilik rumah.
Misalnya, saya orang yang neko-neko, atau pemiliknya lebih menyeramkan dari rumah itu sendiri. Tapi sekali lagi ini untuk memperturutkan naluri novelis horor saya.Istri dan anak-anak sekarang ini memilih indehoy  ke rumah mertua. Butuh cukup waktu untuk mereka bersosialisasi agar  nyaman menempati  rumah kontrakan baru.
***
Senja ini sekadar memperkenalkan diri dengan warga sekitar, saya ikut bermain remi di warung Mang To. Setelah main remi, saya  akan mengasingkan diri dari warga sekitar. Saya menjelma kelelawar. Bangun malam hari untuk menulis, lalu tidur di siang harinya."Pak Sutoro berani sekali pindah ke rumah itu," celetuk Pak Sunar.
"Saya seorang novelis horor."
"Pak Sutoro tak tahu kisah menyeramkan rumah itu, ya?" Dia heran. Saya menjawab dengan menggeleng santai.
Lelaki itu kemudian bercerita, konon berbilang tahun lalu, rumah besar itu dihuni oleh sepasang Belanda dan anak balita bernama Nina.
Setiap malam, sayup-sayup terdengar si nyonya akan bersenandung, "Nina bobok oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk. Boboklah sayang... Ah, saya tak sanggup melanjutkannya. Saya merinding. Serem!"
"Apanya yang serem?"
Pak Sunar menyambung ceritanya, bahwa pada suatu waktu, Nina terkena kanker darah. Ke mana-mana dia dibawa berobat, tapi hasilnya mengecewakan. Usulan si nyonya agar Nina dibawa berobat ke Belanda, ditunda sang suami. Ada urusan penting yang harus dia selesaikan di kantor atase. Dia baru lapang pada dua bulan selanjutnya.
Akan tetapi rencana ternyata tinggal rencana. Sehari sebelum mereka berangkat ke Belanda, Nina meninggal dunia.
Si nyonya tetap yakin Nina masih hidup. Sang suami diam-diam mengganti jasadnya dengan boneka. Maka setiap malam, si nyonya tetap setia bersenandung, "Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk."
"Lalu ke mana akhirnya sepasang Belanda itu?" Saya penasaran.
"Pulang kembali ke negerinya. Rumah itu pun dimiliki olek tukang kebun. Tukang kebun itu kakek Bambang, pemilik rumah yang sekarang ini." Saya masih ingin bertanya banyak. Tapi warung Mang To sudah sepi. Semua sudah menghambur pergi meninggalkan kartu remi yang berserakan.
Apa yang diceritakan Pak Sunar, sepertinya pernah saya baca di sebuah majalah misteri tentang asal-usul lagu Nina Bobok. Entah  di mana itu. Namun ngomong-ngomong, kenapa saya merinding?
***
Angin malam masuk dari jendela. Tirai terhempas-hempas? Malam cukup dingin. Mungkin akan turun hujan lebat.
Saya menyeduh teh jahe, lalu serius menghadap komputer. Selintas saya seperti melihat seorang perempuan berbaju putih dan berambut panjang melintasi jendela. Mungkin saja itu tipuan mata. Saya kembali mengetik kata demi kata, hingga sayup-sayup mendengar suara perempuan bersenandung, "Nina bobok  oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk."
Ini benar-benar gila. Saya semakin berimajinasi mendengar senandung itu. Tapi tak lagi setelah mendengar suara lengkingan tawa. Saya mendelik. Lengkingan tawa itu berasal  dari gudang. Haruskah saya takut? Seorang novelis horor memiliki rangkap keberanian atau tepatnya cenderung nekad. Bersenjatakan senter ponsel, saya menuju gudang.
Suara lengkingan itu berubah kembali menjadi senandung. Seumur-umur saya belum pernah mengalami kejadian menyeramkan seperti ini
Perlahan saya membuka pintu gudang. Senandung itu berhenti. Saya melihat sebuah boneka tergantung di langit-langit gudang. Lehernya berdarah. Dia perlahan-lahan bersenandung lagu Nina Bobok. Tubuh saya kejang. Saya berusaha berlari sekencangnya. Si boneka terbang, lalu mencekik saya.
"Tolong!!!
"Cut! Syuting cukup sekian. Bungar, besok kita lanjut lagi." Seorang lelaki merapikan alat-alat di depannya.
Tiba-tiba tubuh saya ringan. Saya bersenandung, "Nina bobok oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk."
Orang-orang semua berteriak, "Barung kesurupan! Barung Kesurupan!"
***
"Jadi itu sebabnya kamu memilih pindah menjadi aktor film komedi?" Bahar menyesap kopinya yang sudah dingin. Saya terlalu lama bercerita.
"Ya, saya tak ingin kesurupan lagi. Dan saya ingatkan para aktor dan aktris yang ngebet membintangi film horor, jangan sekali-kali menyenandungkan lagu Nina Bobok saat sendirian."
"Kenapa? Apakah mereka akan kesurupan?"
"Tidak! Mereka akan tertidur karena lagu ini menjadi mantra penidur sejak zaman Belanda."
Kami tertawa terbahak-bahak. Namun tidak dapat tertawa lagi ketika ada senandung, "Nina bobok oh Nina bobok."
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H