Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] Bolehkah Kucium Keningmu di Bawah Purnama?

5 Oktober 2019   12:29 Diperbarui: 5 Oktober 2019   12:35 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: sosyalforum.org

Mas Yayan itu orang yang tak peduli penampilan, baik saat berangkat, apalagi pulang kerja. Katakanlah dia sedikit, yah, urakan. Tubuhnya penuh oli, cemong sana-sini bak topeng monyet. Namun tubuh atletis dengan perut six pack menyamarkannya. Mata elang itu selalu siap memangsa, membuat jantungku berdebar. Jangan sampai deh dia melirik kasur, hajab semua dia buat.

Tapi,  seminggu terakhir ini rasa curiga itu sangat mengganggu. Penampilan Mas Yayan berubah seratus persen. Rambut tertata rapi, nyaris klimis. Pakaian yang dia pakai---meskipun tetap baju monyet---masih tajam lipatannya. 

Sebelumnya dia penggeli urusan parfum. Semua dia serahkan kepada sabun mandi. Untung saja aku suka aromanya yang natural. Lagi-lagi dia membuatku blingsatan. Namun, di lemari pakaian tiba-tiba ada parfum aroma tembakau. Kendati dia sudah pergi kerja, terkadang wanginya masih lengket di seluruh ruangan.

Aku memang bukan istri cerewet yang selalu mereweli suami. Misalnya dengan bertanya, "Darimana pulang sampai larut malam, Mas?" Kecuali aku sekadar memberitahu saja, "Jangan pulang terlalu malam. Jaga kesehatan, Mas."

Dia tentu akan menjawab, "Tadi banyak mobil masuk. Jadi harus lembur."

Lalu mengenai penampilan yang berubah drastis itu, aku tak bisa mencari komentar yang tidak akan menyakitinya. Andai aku berkata, "Dulu mas tak rapi. Tapi kenapa sekarang necis?" Kata-kata itu sama saja dengan, "Dulu mas jelek, tapi kenapa sekarang tampan?"

Istilahnya itu ngenyek atau secara tak langsung menghina. Terpaksalah kecurigaan ini  kusimpan rapat-rapat.

Tapi, menyangkut yang satu itu, wajarkah aku diam saja? Terus terang, meskipun sudah lebih lima tahun menikah, kami belum dikaruniai momongan. Setiap kali usia pernikahan bertambah setahun, selalu kami liburan bulan madu. Menurut si mas, agar cetakan jabang bayi kami mantap, dan tidak bantat.

Masalah jabang bayi itu, ibu mertua sudah kerap menyarankan, agar kami mengadopsi anak. Bagiku itu sindiran amat pedas, seperti mengatakan, "Apakah lebih baik kamu mengganti istri? Bibit yang ini kurang baik!"

Barangkali apa yang kualami, dialami juga oleh para istri minus anak di luar sana. Cepat sekali kami curiga,  meski tak ada niat buruk di hati mertua. Mungkinkah perubahan Mas Yayan yang drastis ini merupakan tanda-tanda ada orang ketiga di antara kami?

"Sudah pasti ada orang ketiga. Aku yakin, Nab!" Itu yang diucapkan Sofiah saat menghempaskan bokong di kursi dapur. Sebentar dia bermain-main dengan si Meong, lalu menyeruput es lemon. Tatap matanya kembali menghunjam. "Apakah perilakunya bertambah baik?"

"Iya, Sof."

"Nah, celaka kau Nab! Perubahan drastis penampilan suami, itu sudah pertanda buruk. Apa lagi sikap baiknya, sudah jelas menambah nilai plus bahwa dia ada main. Seorang suami bila sering berangasan, itu terjadi secara natural dari lubuk hatinya. Tapi, kalau tiba-tiba dia baik, kau wajib super curiga. Suami bertingkah baik itu sama seperti kucing. Kucing kalau merasa bersalah telah maling ikan asin, akan senang merayu majikannya. Seperti itu pula suami, saat sedang main api, dia akan berubah baik kepada istrinya. Bahkan sangat baik."

"Tapi, Mas Yayan tak pernah berangasan, Sof. Dari kami menikah sampai sekarang, dia tetap baik kok!" Aku masih membela masku. Sofiah terlihat agak jengkel. Alur pembicaraannya tak kuikuti. Dia mencomot pisang goreng asal-asalan.

"Apa yang kau alami sama persis dengan apa yang kualami sebelum berpisah dengan Mas Rizal. Karena kau tak yakin perkataanku, lebih baik aku pulang. Tak ada gunanya kalau pikiran kita tak seida. Tapi ingat, kalau nasi  sudah menjadi bubur, resiko tanggung sendiri. Tak usah curhat ke aku, jika saja aku nanti mengatakan 'no way'." Dia bergegas pergi.

"Sof, tunggu!" teriakku. "Aku bukan tak mempercayaimu. Tapi...," dia menghilang di balik pintu. Sebaskom pisang goreng kuhabiskan sendirian. Jeleknya aku di situ. Saat sedang kesal, nafsu makanku kuat. Tentu berat badanku akan bertembah. Dengan berat makan bertambah, keputusan Mas Yayan akan semakin bulat untuk meninggalanku. Alasan pertama, sebab aku bukan istri yang subur. Alasan kedua, sebab tubuhku sudah mirip emak-emak. Apalagi dia juga memiliki teman wanita---maksudku teman kerja---yang pernah memberikan hadiah jam tangan mahal saat Mas Yayan ulang tahun. Anehnya, setelah jam itu ada, dia malahan tak kenal waktu. Pulang ke rumah seringkali setelah aku tertidur. Mungkin aku salah, dia hanya kenal waktu untuk orang yang menghadiahinya jam tangan. Sedangkan aku hanya meluluskan niatnya membeli motor gede. Maka makin seringlah dia pulang larut.

Sekarang saja sudah jam tujuh malam, batang hidung lelaki itu belum kelihatan sama sekali. Padahal ini Sabtu. Setiap Sabtu biasanya dia pulang pukul dua siang. Apakah dia sedang jalan dengan perempuan berlesung pipit dan berhidung mancung itu? Kabarnya dia adalah perempuan tercantik di bengkel mobil tempat  Mas Yayan menjadi mekanik. Karena memang dia perempuan yang suangat cantik. Kalau tak cantik, mana mungkin dia bisa menggaet suami  orang. Selain itu, rata-rata pekerja bengkel itu lelaki.

Semur ayam kesukaan suami pun kuhabiskan hingga kuah-kuahnya. Sambal terasi licin tak berbekas. Seluruh perangkat makan ludes. Tenagaku harus tersalur ketimbang gila memikirkan penyelewengan Mas Yayan. Kucuci semua piring. Seluruh pakaian yang tergantung di balik pintu, kusikat kuat-kuat. Seolah tenagaku melebihi sepuluh ekor kuda.

Untung saja setelah Shalat Isya, emosiku agak terkendali. Mas Yayan tak lagi diharap akan pulang di bawah jam sembilan. Sekadar mendinginkan magma dalam hati, aku menonton video kenangan bersama lelaki itu.

Tampak di layar kaca dia sangat bahagia setelah berhasil mengucapkan ijab kabul. Para tamu yang meneriakkan 'siram-siram', akhirnya bertepuk tangan dengan gembira. Aku tersenyum geli melihat Mas Yayan tertangkap kamera sedang dipakaikan celana pengantin oleh ibu perias. Kameramen berkata, "Anda kami tangkap! Baru saja mau resepsi pernikahan sudah main api." Aku tertawa terguling-guling di kasur hingga antinganku lekas.

Sambil menaham geli melihat adegan di video itu, tiba-tiba aku mendengar suara motor besar. Tak salah lagi, Mas Yayan sudah pulang.

Setengah berlari aku mematikan tv. Lalu, aku pura-pura tertidur di sofa. Perlahan sekali lobang kunci berbunyi. Aroma parfum bau tembakau, mengoyak ruangan. Langkah-langkah berat Mas Yayan terdengar  perlahan. Dia sepertinya berjalan jinjit. Mata bertambah kurapatkan. Desing tubuh melintasi sofa. Lampu lebih terang menyala. Aku berjuang sekuat tenaga agar tak membuka mata. Sekali saja dia berbicara, aku langsung smackdown dengan pertanyaan, "Darimana saja baru pulang selarut ini? Apa tak mempunyai jam tangan?"   

Elusan lembut menjalar di pipiku. Jiwa lembut itu kembali menggeliat. Selalu begini, aku akan luluh bila sedikit saja dilembuti. "Kok nggak tidur di kamar, Ma? Sorry, kerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Maklum bulan muda, mobil pada diservis semua." Aku mengintip jam dinding. Hmm, sudah hampir pukul sepuluh. "Eh, dia luar lagi purnama. Lihat sebentar, yok!" lanjutnya. Aku duduk, menggerak-gerakkan pinggang.

"Aduh, capek sekali! Sudah pukul berapa, ya?" Aku melirik jam dinding. "Oh, jam sepuluh lewat. Sudah malam, ya!"

"Purnamanya bagaimana?" Mas Yayan seolah bertaring. Dia menjelma serigala yang tangguh. Setiap kali purnama, tenaganya berada dalam posisi full. Biasanya aku yang  kalah bertarung, dan Shalat Shubuh sampai terlewat karena kecapekan. Mungkinkah di darahnya mengalir darah serigala?

"Bulan purnama? Baiklah! Sudah lama tak melihat purnama sejak kabut asap." Aku mengekori Mas Yayan. Pintu depan dia buka. Tadaa, sebuah mesin cuci berdiri di seberang. Bagaimana benda itu bisa berdiri di situ? Oh, ya, tadi saat terdengar suara motor, samar terdengar seperti suara mobil.

Seketika darahku berdesir. Rayuan maut Mas Yayan semakin hebat. Terbayang di mataku saat duduk bersama menikmati purnama, dia akan mengutarakan maksudnya. Dia memintaku memilih dua pilihan yang sama sakitnya. Dimadu atau dicerai! Urusan minus anak itu memang sering membuat perempuan berada di posisi bersalah. Padahal belum tentu rahimnya yang bermasalah. Bisa jadi suami yang mandul.

"Duduk di sini, Ma," ajaknya. Dia memang tak berbohong. Purnama sebesar tampah. "Sebenarnya ini sengaja mas sembunyikan, ya, sebagai kado kejutan akhir tahun pernikahan kita." Aku mulai tak mengerti arah pembicaraannya. Kepalaku hanya dipenuhi dua pilihan, dimadu atau dicerai.

"Maafkan mas tak jujur beberapa hari belakangan ini." Nah, mati aku. Aku harus rela berbagi dengan perempuan lain. Tapi prinsipku, tak ada kata untuk berbagi suami. Kalau dia tak kumiliki seutuhnya, maka lebih baik kami berpisah. 

"Sebenarnya ini kado yang membahagiakan. Mungkin kau bingung melihat tampilan mas berubah. Semua karena jabatan mas tak lagi mekanik, melainkan kepala bengkel." Ada rasa gembira menyelinap di hati ini. Zainab, sadar! Itu hanya permulaan, selanjutnya teken berkas tanda persetujuan suami menikah lagi. "Sebagai kepala bengkel, aku diharuskan rapi dan harum untuk memuaskan pelanggan. Tapi aku masih diberi keringanan oleh bos, boleh memakai baju monyet."

"Memuaskan pelanggan? Maksudnya?" Aku berpikiran yang tidak-tidak.

"Maksud mas biar pelanggan merasa dihargai. Masa' tampilan kepala bengkel seperti mekanik  junior. Karena jabatan naik, tentu dong gaji naik juga. Hasilnya mesin cuci yang mas janjikan sudah di depan mata." Dia terdiam."Ngomong-ngomong, saat purnama begini, tenaga mas bertambah berkali lipat." Dia menggendongku. "Bolehkah Keningmu Kucium di bawah purnama. Auuu...." Dia melolong. Taringnya seolah bertambah panjang.

"Tapi jangan terlalu ganas, Mas. Soalnya aku sudah telat sebulan."

Mas Yayan terkejut. "Maksudmu?"

"Tadi aku sudah memakai test pack. Aku positif," jeritku tertahan di antara bahagia yang membuncah.

"Auuu...."  Dia melolong, membawaku ke kamar. Selanjutnya, kau tahu sendiri apa hal yang tabu diceritakan.

---sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun