Elusan lembut menjalar di pipiku. Jiwa lembut itu kembali menggeliat. Selalu begini, aku akan luluh bila sedikit saja dilembuti. "Kok nggak tidur di kamar, Ma? Sorry, kerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Maklum bulan muda, mobil pada diservis semua." Aku mengintip jam dinding. Hmm, sudah hampir pukul sepuluh. "Eh, dia luar lagi purnama. Lihat sebentar, yok!" lanjutnya. Aku duduk, menggerak-gerakkan pinggang.
"Aduh, capek sekali! Sudah pukul berapa, ya?" Aku melirik jam dinding. "Oh, jam sepuluh lewat. Sudah malam, ya!"
"Purnamanya bagaimana?" Mas Yayan seolah bertaring. Dia menjelma serigala yang tangguh. Setiap kali purnama, tenaganya berada dalam posisi full. Biasanya aku yang  kalah bertarung, dan Shalat Shubuh sampai terlewat karena kecapekan. Mungkinkah di darahnya mengalir darah serigala?
"Bulan purnama? Baiklah! Sudah lama tak melihat purnama sejak kabut asap." Aku mengekori Mas Yayan. Pintu depan dia buka. Tadaa, sebuah mesin cuci berdiri di seberang. Bagaimana benda itu bisa berdiri di situ? Oh, ya, tadi saat terdengar suara motor, samar terdengar seperti suara mobil.
Seketika darahku berdesir. Rayuan maut Mas Yayan semakin hebat. Terbayang di mataku saat duduk bersama menikmati purnama, dia akan mengutarakan maksudnya. Dia memintaku memilih dua pilihan yang sama sakitnya. Dimadu atau dicerai! Urusan minus anak itu memang sering membuat perempuan berada di posisi bersalah. Padahal belum tentu rahimnya yang bermasalah. Bisa jadi suami yang mandul.
"Duduk di sini, Ma," ajaknya. Dia memang tak berbohong. Purnama sebesar tampah. "Sebenarnya ini sengaja mas sembunyikan, ya, sebagai kado kejutan akhir tahun pernikahan kita." Aku mulai tak mengerti arah pembicaraannya. Kepalaku hanya dipenuhi dua pilihan, dimadu atau dicerai.
"Maafkan mas tak jujur beberapa hari belakangan ini." Nah, mati aku. Aku harus rela berbagi dengan perempuan lain. Tapi prinsipku, tak ada kata untuk berbagi suami. Kalau dia tak kumiliki seutuhnya, maka lebih baik kami berpisah.Â
"Sebenarnya ini kado yang membahagiakan. Mungkin kau bingung melihat tampilan mas berubah. Semua karena jabatan mas tak lagi mekanik, melainkan kepala bengkel." Ada rasa gembira menyelinap di hati ini. Zainab, sadar! Itu hanya permulaan, selanjutnya teken berkas tanda persetujuan suami menikah lagi. "Sebagai kepala bengkel, aku diharuskan rapi dan harum untuk memuaskan pelanggan. Tapi aku masih diberi keringanan oleh bos, boleh memakai baju monyet."
"Memuaskan pelanggan? Maksudnya?" Aku berpikiran yang tidak-tidak.
"Maksud mas biar pelanggan merasa dihargai. Masa' tampilan kepala bengkel seperti mekanik  junior. Karena jabatan naik, tentu dong gaji naik juga. Hasilnya mesin cuci yang mas janjikan sudah di depan mata." Dia terdiam."Ngomong-ngomong, saat purnama begini, tenaga mas bertambah berkali lipat." Dia menggendongku. "Bolehkah Keningmu Kucium di bawah purnama. Auuu...." Dia melolong. Taringnya seolah bertambah panjang.
"Tapi jangan terlalu ganas, Mas. Soalnya aku sudah telat sebulan."