Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Atas Nama Keluarga yang Sering Bertengkar

4 Oktober 2019   17:20 Diperbarui: 4 Oktober 2019   17:41 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bau roti bakar membangunkanku. Telah lama aku tak mencium bau wangi itu. Perut terasa berontak. Membayangkan roti bakar dipadu susu hangat di pagi berhujan, alangkah indahnya! Tapi bolehkah pungguk merindukan bulan?

Setelah perang beberapa malam lalu, rumah ini sunyi. Dingin! Masih kuingat piring beterbangan seperti kupu-kupu. Teriakan mencakar dinding rumah, membuat telingaku mendenging. Hasil akhir, ayah membanting pintu.

Malam itu aku ingin buta agar tak melihat sungai di mata ibu, agar tak melihat api di mata ayah. Kenapa orang dewasa suka saling marah? Padahal ada aku di antara mereka. Aku dianggap apa? Seharusnya semua bisa diselesaikan tanpa marah. Berbicara di teras misalnya, sambil minum teh bersama hangat purnama.

Aku juga sering marahan dengan Dian, sejam kemudian kami sudah bemain masak-masakan. Setelah itu marahan lagi berebut komporan. Kala berpisah, kami mulai saling merindukan. Seolah jarak rumah kami terpaut jauh. Sst, jangan bilang siapa-siapa, Dian itu tetangga sebelah rumahku.

Sakit terasa bila dia memusuhiku. Berbeda dengan ayah-ibu, senang sekali bermusuhan. Apalagi setelah ayah pengangguran dan sering pulang malam dalam keadaan setengah mabuk. Membuar dari mulutnya aroma alkohol. Haruskah orang dewasa lebih sering bermusuhan?

Aku tak ingin dewasa seperti ayah-ibu yang senang bertengkar. Mereka sering tak cakapan lebih dari tiga hari. Apa enaknya? Tiga jam saja aku tak cakapan dengan Dian, dunia terasa hambar seperti tanpa garam.

"Mungkin ada yang baru di antara orang tuamu. Dulu ketika orang tuaku akan bercerai, sering kudengar ibu mengatakan kata-kata; yang baru. Ibu pun minggat," ucap Dian sambil membetulkan rantai sepedanya.

"Kalau aku, ayah yang minggat." Aku menekuk bibir bawah. "Baru itu maksudnya apa?"

"Misalnya ketika kau ada baju baru, baju yang lama kau kemanakan?" Akhirnya selesai juga dia membetulkan rantai sepeda itu. Dia menepuk-nepukkan tangan, mundur, mencangkung di sebelahku. Dia tak peduli tangan hitam beroli, langsung saja mencomot kacang rebus di atas meja.

"Mm, aku kasih ke sepupu," jawabku. Dia melotot kesal.

"Bukan dikasih ke sepupu. Maksudku baju lama itu kau buang. Mungkin ayah atau ibumu mempunyai teman baru. Seperti Jihan, itu kan teman barumu. Makanya kita sering bertengkar karenaya." Dia melipat tangan di depan dada, marahan lagi. Ibu memanggilku untuk makan siang. Dian pulang. Tiga hari setelah itu aku dan Dian tak cakapan. Baru kutahu kalau dia iri melihat keakrabanku dengan Jihan, sepupuku yang pindah ke kota ini.

Bau roti bakar itu merampok kenanganku bersama Dian. Perlahan aku mengintip di sela pintu.   Ada ibu sedang tertunduk-tunduk di dekat tungku. Tumben, apa hati ibu sedang bahagia?  Setelah ayah minggat dari rumah, biasanya ibu hanya memasak mie instan, atau nasi goreng gosong yang dibuat tanpa cinta. Betapa tak enaknya setelah ayah pergi. Suara ibu sering bernada tinggi. Dia lebih suka marah. Tadi malam aku berdoa kepada Tuhan agar mereka baikan. Sampai tumpah seluruh isi mata. Hingga aku tertidur di atas sajadah. Mungkin ibu yang memindahkanku ke kasur, lalu menyelimuti.

Seleraku terhadap roti bakar hilang sudah. Aku kembali menggambar impianku. Ada ayah membawa roti. Eh, Sari Roti aku suka. Eh jangan itu. Ayah membawa sebuket bunga atau sepaket make up. Lipstik ibu juga sudah habis. Lalu ibu menyambut dengan roti bakar. Oh, tidak, roti bakar itu kesukaanku, bukan kesukaan ayah. Pasti ibu membawa secangkir kopi. Ayah suka itu sambil membaca koran sore dan menikmati biskuit. Oh, iya, selain kopi, dia suka biskuit.

Aku menggendong si manis. He, bukankan ayah benci kucing? Takut e'ek dalam rumah. Mm, mungkin ayah suka kelinci, marmut, hamster. Oh, ayah kurang suka binatang. Atau, ini yang lebih baik. Selembar kertas ulangan matematika bernilai seratus. Dia suka anak pintar. Dia menciumiku. Menciumi ibu. Mungkin minggu depan kami akan ke rumah opa. Opa ada pancingan baru. Kami akan memancing ke tengah laut. "Straight!" teriak kakek. Ikan menggelepar di mata pancingnya. Ayah dan ibu berpelukan. Aku senang melihat mereka akur.

Seketika gambar itu hidup. Ada tetes hujan menimpanya. Bukan tetes hujan. Ibu telah berdiri di belakangku. Dia membawa setangkup roti bakar. Dan air tadi adalah air mata ibu.

"Ingin roti, Sayang. Nih!" Ibu meletakkan di atas meja.

"Aku ingin ayah, Bu! Aku ingin tinggal bersama keluarga yang bahagia."

Ibu tersenyum. "Ayah sudah kembali di kamar. Itu, dia masih tidur. Kau pasti tak mendengar ayah pulang tadi malam."

Aku menjerit kesenangan. Berlari, lalu menghambur memeluk ayah yang sedang tertidur. Ayah-ibu memang sering bertengkar, tapi sering juga akur kembali. Suatu kali ayah mengatakan pertengkaran itu bunga-bunga keluarga. Meski ibu tak pernah meletakkan bunga di dalam rumah, apalagi sudah malam, dia pasti marah-marah kalau malam-malam melihat tanaman hidup diletakkan dalam rumah. Ibuku memang guru biologi.

Mereka memang mirip aku dan Dian, suka marahan. Tapi, jangan sering-sering, Ayah-ibu. Aku merangkul  mereka berdua. Kami akan melanjutkan mimpi, tinggal di negeri atas awan.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun