Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Atas Nama Keluarga yang Sering Bertengkar

4 Oktober 2019   17:20 Diperbarui: 4 Oktober 2019   17:41 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bau roti bakar itu merampok kenanganku bersama Dian. Perlahan aku mengintip di sela pintu.   Ada ibu sedang tertunduk-tunduk di dekat tungku. Tumben, apa hati ibu sedang bahagia?  Setelah ayah minggat dari rumah, biasanya ibu hanya memasak mie instan, atau nasi goreng gosong yang dibuat tanpa cinta. Betapa tak enaknya setelah ayah pergi. Suara ibu sering bernada tinggi. Dia lebih suka marah. Tadi malam aku berdoa kepada Tuhan agar mereka baikan. Sampai tumpah seluruh isi mata. Hingga aku tertidur di atas sajadah. Mungkin ibu yang memindahkanku ke kasur, lalu menyelimuti.

Seleraku terhadap roti bakar hilang sudah. Aku kembali menggambar impianku. Ada ayah membawa roti. Eh, Sari Roti aku suka. Eh jangan itu. Ayah membawa sebuket bunga atau sepaket make up. Lipstik ibu juga sudah habis. Lalu ibu menyambut dengan roti bakar. Oh, tidak, roti bakar itu kesukaanku, bukan kesukaan ayah. Pasti ibu membawa secangkir kopi. Ayah suka itu sambil membaca koran sore dan menikmati biskuit. Oh, iya, selain kopi, dia suka biskuit.

Aku menggendong si manis. He, bukankan ayah benci kucing? Takut e'ek dalam rumah. Mm, mungkin ayah suka kelinci, marmut, hamster. Oh, ayah kurang suka binatang. Atau, ini yang lebih baik. Selembar kertas ulangan matematika bernilai seratus. Dia suka anak pintar. Dia menciumiku. Menciumi ibu. Mungkin minggu depan kami akan ke rumah opa. Opa ada pancingan baru. Kami akan memancing ke tengah laut. "Straight!" teriak kakek. Ikan menggelepar di mata pancingnya. Ayah dan ibu berpelukan. Aku senang melihat mereka akur.

Seketika gambar itu hidup. Ada tetes hujan menimpanya. Bukan tetes hujan. Ibu telah berdiri di belakangku. Dia membawa setangkup roti bakar. Dan air tadi adalah air mata ibu.

"Ingin roti, Sayang. Nih!" Ibu meletakkan di atas meja.

"Aku ingin ayah, Bu! Aku ingin tinggal bersama keluarga yang bahagia."

Ibu tersenyum. "Ayah sudah kembali di kamar. Itu, dia masih tidur. Kau pasti tak mendengar ayah pulang tadi malam."

Aku menjerit kesenangan. Berlari, lalu menghambur memeluk ayah yang sedang tertidur. Ayah-ibu memang sering bertengkar, tapi sering juga akur kembali. Suatu kali ayah mengatakan pertengkaran itu bunga-bunga keluarga. Meski ibu tak pernah meletakkan bunga di dalam rumah, apalagi sudah malam, dia pasti marah-marah kalau malam-malam melihat tanaman hidup diletakkan dalam rumah. Ibuku memang guru biologi.

Mereka memang mirip aku dan Dian, suka marahan. Tapi, jangan sering-sering, Ayah-ibu. Aku merangkul  mereka berdua. Kami akan melanjutkan mimpi, tinggal di negeri atas awan.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun