Saya baru seminggu pindah kos di bilangan Jalan Enggang. Kamarnya luas dan nyaman. Tapi suasana di sini  amat menyeramkan.  Kos  memiliki sepuluh kamar, lima terisi. Kamar saya, tiga pekerja pabrik baja, dan satu tukang ojek online. Saya menempati kamar paling ujung. Lima kamar sebelum kamar saya, kosong semua.
Saya bekerja di kafe dari  pukul  lima sore hingga dua belas malam. Praktis saya  tak bisa bercengkrama dengan tetangga-tetangga kos. Saat saya pulang, mereka sudah ngorok. Begitu saya bangun untuk Shalat Shubuh, mereka semua sudah terbang.
Teman-teman di kafe menyayangkan mengapa saya nge-kos di jalan Enggang. Tempat itu terkenal menyeramkan. Terkabar, dulu ada perempuan yang diperkosa dan dibunuh di sebuah rumah kosong. Sejak itu, setiap tengah  malam,  orang sering mendengar suara tangisan di tempat ini.
"Saya sudah mencari kos lain. Tak ada," keluh saya kepada Imron.
"Hati-hati sajalah. Apalagi kita kan pulang malam terus." Dia seakan menakut-nakuti saya.
Itu adalah percakapan saya dengan Imron pada malam kedua saya nge-kos di sini. Tengkuk saya seketika meremang. Apalagi ketika saya pulang  sendirian. Kebetulan pula listrik mati. Lengkaplah ketakutan itu. Bersenjatakan senter ponsel, saya tak lepas-lepasnyan berdoa. Jujur, saya paling penakut di antara anggota keluarga saya. Â
Ternyata doa saya  kurang mempan. Di depan sebuah rumah yang  besar lagi menyeramkan, saya melihat seorang tua berjongkok di dekat selokan. Saya tak melihat wajah, selain punuknya yang diselimuti rambut panjang-ubanan. Saya hampir mati ketakutan. Pasalnya rumah besar itu tepat berdiri di bekas rumah kosong, tempat terjadinya pemerkosan itu. Sialnya lagi, kamar saya menempel  di tembok samping kiri rumah besar  itu.
Orang berpunuk itu menoleh. Wajahnya berlumur darah. Saya langsung berlari ketakutan menuju kamar kos. Selintas terdengar dia memanggil saya, tapi saya memilih buru-buru masuk ke kamar, kemudian mencuci wajah dengan air mineral. Moga-moga saya tak dihantui orang aneh itu.
Saya bertambah takut ketika pulang cepat selepas maghrib, beberapa orang berpakaian hitam-hitam masuk ke pekarangan rumah besar itu. Saya juga melihat si punuk berada di sana. Juga seorang lelaki tua dengan totol-totol di wajah, membuat saya buru-buru belari. Tak sadar saya menabrak tubuh besar berwajah putih.
"Kenapa?" katanya.
Saya malu sendiri. Dia tetangga kamar saya. Seorang tukang ojek online. Kelak saya tahu dia sering memakai masker bengkoang, agar wajahnya tetap sehat karena sehari-harinya wajah itu terpupur debu.
"Saranku pindah saja,"saran Imron.
"Ke mana? Pindah ke rumahmu?" Aku mengantarkan pesanan tamu. Setelah kembali ke lobby, Imron berkata, "Daripada tiap malam telinga saya penuh dengan cerita-cerita ketakutanmu. Tapi, jangan pula pindah ke rumah saya." Dia mengantar pesanan tamu.
"Apa alasanmu melarang saya pindah ke rumahmu? Saya bayar kok. Bilangin dengan orang tuamu."
"Saya takut," katanya sambil cengegesan, "kau makan. Kau kan melambai!" Saya melemparnya dengan tutup botol.
Tak dapat tidak, ketimbang tiap hari ketakutan, saya harus pindah tempat kos. Apalagi setelah delapan hari tinggal di Jalan Enggang, saya melihat pocong di  teras rumah besar itu. Saking takutnya,  saya sampai  kencing di celana. Saya juga terjerembab di comberan. Untung  tak ada yang melihat, kecuali si punuk yang tertawa di tingkat dua rumah besar itu. Dia sedang menjemur kain putih. Menjemur kain putih malam-malam begini? Ah, tak beres.
Pada hari kesepuluh, saya mulai mengepak barang-barang. Karena menjelang pukul lima sore belum kelar juga, saya terpaksa ijin kerja. Saat itulah sebuah kepala nongol di jendela. Saya berteriak ketakutan, dibarengi suara tertawa panjang. Pemilik kepala itu muncul di ambang pintu.
"Sombong amat! Sudah sepuluh hari tinggal di sini, kita belum pernah kenalan. Namaku Togar, Â asal Medan." Â Dia menyalami saya. "Nama kau siapa?"
"Destin, Bang."
"Desty. Macam cewek pula kudengar."
"D-e-s-t-i-n!" geram saya. Dia cengengesan. "Abang  tukang ojek itu, ya? Kata induk semang, ada tukang ojek yang tinggal  di kos ini."
"Paten kali tebakan kau. Darimana kau tahu?" Dia tanpa permisi mencomot roti di atas meja.
"Mulut abang mirip knalpot." Aku yang kali ini tertawa. Dia memegang mulut, mencoba memundurkan gigi, tapi tak bisa. "Maafkan saya, Bang. Hanya bercanda. Jadilah smackdown dari saya sebelum pindah dari sini."
"Kenapa pindah? Bilang sama  aku siapa yang mengganggumu,  biar kusmackdown  berserak."
Saya pun bercerita. Awalnya dia terlihat serius. Belakangan muncungnya mirip cecurut. Â Terpingkal-pinggal pula si Togar ini. Padahal saat bercerita saja, saya lumayan berdebar.
"Makanya kalau pindah itu bertandang dulu ke tetangga. Â Ajak-ajak makan bolehlah. Supaya kau tahu, pemilik rumah besar itu memang pawang binatang, eh, salah. Maksudku pawang bintang film. Sekarang mereka memang sedang syuting film "bernapas dalam helm", begitu kira-kira. Pasti judulnya aku tak tahu."
"Berarti saya tertipu, ya?"
Tiba-tiba Togar memeluk saya erat-erat. Seekor tikus, masuk ke dalam rumah.
"Kayak pemberani, tapi sama tikus aja takut," saya meledeknya.
"Aku pulanglah dulu. Nanti kau sosor pula aku. Ingat, ya. Jangan pindah kos."
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H