"Saranku pindah saja,"saran Imron.
"Ke mana? Pindah ke rumahmu?" Aku mengantarkan pesanan tamu. Setelah kembali ke lobby, Imron berkata, "Daripada tiap malam telinga saya penuh dengan cerita-cerita ketakutanmu. Tapi, jangan pula pindah ke rumah saya." Dia mengantar pesanan tamu.
"Apa alasanmu melarang saya pindah ke rumahmu? Saya bayar kok. Bilangin dengan orang tuamu."
"Saya takut," katanya sambil cengegesan, "kau makan. Kau kan melambai!" Saya melemparnya dengan tutup botol.
Tak dapat tidak, ketimbang tiap hari ketakutan, saya harus pindah tempat kos. Apalagi setelah delapan hari tinggal di Jalan Enggang, saya melihat pocong di  teras rumah besar itu. Saking takutnya,  saya sampai  kencing di celana. Saya juga terjerembab di comberan. Untung  tak ada yang melihat, kecuali si punuk yang tertawa di tingkat dua rumah besar itu. Dia sedang menjemur kain putih. Menjemur kain putih malam-malam begini? Ah, tak beres.
Pada hari kesepuluh, saya mulai mengepak barang-barang. Karena menjelang pukul lima sore belum kelar juga, saya terpaksa ijin kerja. Saat itulah sebuah kepala nongol di jendela. Saya berteriak ketakutan, dibarengi suara tertawa panjang. Pemilik kepala itu muncul di ambang pintu.
"Sombong amat! Sudah sepuluh hari tinggal di sini, kita belum pernah kenalan. Namaku Togar, Â asal Medan." Â Dia menyalami saya. "Nama kau siapa?"
"Destin, Bang."
"Desty. Macam cewek pula kudengar."
"D-e-s-t-i-n!" geram saya. Dia cengengesan. "Abang  tukang ojek itu, ya? Kata induk semang, ada tukang ojek yang tinggal  di kos ini."
"Paten kali tebakan kau. Darimana kau tahu?" Dia tanpa permisi mencomot roti di atas meja.