Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pasar Malam

14 September 2019   23:29 Diperbarui: 17 September 2019   20:37 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pasar Malam | (KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO)

Saya memutuskan lapangan itu tempat kami menggelar pasar malam selama sebulan ini. Posisi arena telah saya susun. Di bagian tengah, arena komedi putar dan tong setan. 

Arena bola tangkas serta ketangkasan lainnya disusun di pinggir, membentuk lingkaran. Sedangkan arena rumah hantu diletakkan paling sudut, bagian utara. Tepatnya  diapit dua pohon beringin besar, sehingga terlihat menyeramkan.

"Kau yakin lapangan itu cocok menjadi lapak bisnis kita selanjutnya, Husein?" Aron berkacak-pinggang, melihat para pekerja cekatan membangun beragam arena. 

Sejak aku memutuskan lapangan itu tempat kami mendulang rejeki, Aron sudah protes dari semula. Padahal Ketua RW dan beberapa centeng, sudah setuju kami menggelar pasar malam di situ. Persekot pun sudah kuberikan. 

"Aku sudah habis-habisan, Aron!"

"Apakah kau juga akan membangun arena rumah hantu?" Aron menatapku tajam. Sisil sedang memijit-mijit aku. Nanti malam tugasku unjuk gigi di arena tong setan. 

"Yap! Rumah hantu merupakan maskot kita."

"Bagaimana dengan tong setan?"

"Aku akan main nanti malam. Tenang saja duduk di boncengan. Yang penting rejeki kita akan lancar. Lihat saja Sangkot sampai kewalahan mengusir anak-anak. Mereka sudah merubung. Padahal arena belum dibuka untuk umum. Pokoknya awasi agar semua bisa beroperasi nanti malam."

Rahang Aron mengeras. Dia ngotot kami jangan membuka arena rumah hantu dan tong setan. Dua arena itu sangat bersinggungan dengan hal menakutkan; hantu dan setan. Sementara konon, tempat itu terkenal sangat menyeramkan.

Di dahan pohon beringin paling bawah, pernah dua-tiga kali ditemukan orang gantung diri. Sejak saat itu sering ada penampakan aneh, bahkan sesekali terdengar suara tangisan.

"Ah, kau ngarang saja. Takhayul itu. Aku sudah kapalan urusan pasar malam. Seluruh tempat telah pernah kusambangi. Dari yang biasa-biasa saja, hingga menyeramkan. Nyatanya aku melewatinya dengan sukses. Sudahlah! Awasi pekerjaan mereka agar berjalan baik!" Aku menghalau Aron dan Sisil. Aku ingin ingin istirahat. 

Setelah mereka pergi, dan aku menggerak-gerakkan pinggang ke kiri dan ke kanan, tiba-tiba aku baru sadar ada seorang anak perempuan berambut panjang dan berwajah pucat, telah duduk di sudut ruangan.

"Hei, sejak kapan anak kecil masuk ke mari. Usir dia! Aku mau istirahat." Aku entah berteriak kepada siapa. Hanya aku dan anak itu yang ada di ruangan ini. Aku akhirnya menggaruk-garuk kepala dengan kesal.

"Sebaiknya kau harus minggat dari sini. Aku tidak ingin tempat kami diganggu." Anak itu berbicara dengan wajah tegang.

"Ah, jangan menakut-nakutiku anak kecil!"

"Kalau kau tak mau menuruti perkataanku, resiko tanggung sendiri." Dia berlalu. Aku hanya mengibaskan tangan, dan rebahan di sofa. Sepertinya badanku remuk. Aku butuh istirahat sekejap.

Ternyata aku tertidur hingga senja. Sangkotlah yang membangunkanku dengan mulut menceracau. Katanya rumah hantu rubuh, menimpa seorang pekerja hingga terluka parah. Dia sekarang sedang dibawa ke rumah sakit terdekat.

Aku perlahan duduk. Bangun lantaran terkejut,membuat kepalaku pusing. Di ambang pintu, ada Aron dengan pandangan mengejek.

"Sudah kubilang. Kita pindah saja ke tempat lain," katanya. Aku seolah tak mendengar. Ketika aku tanyakan pasal arena tong setan, Sangkot mengatakan ready to show. Segera aku menuju ke kamar mandi sambil menyuruh Aron mengurusi biaya perobatan pekerja yang celaka.

***
Lampu berkedap-kedip setelah pukul tujuh malam. Rumah hantu yang rubuh, terpaksa mulai beroperasi besok. Sekarang pengunjung sudah menyemut, terutama di arena tong setan. Motor mulai kugeber. 

Sisil mengenakan topengku, dan menempelkan tulisan "the strom" di dadaku. Saat itulah aku seperti melihat anak berambut panjang dan berwajah pucat itu berada di antara pengunjung. Dia meletakkan telapak tangannya melintang di leher. Entah apa maksudnya, aku tak tahu. 

Aku hanya fokus melihat Derrek mulai beratraksi. Gila, dia berkelebat kesetanan. Setelah dia berkeliling beberapa putaran, aku menyusul. Aku berencana terbang di atas Derrek yang melaju kencang. 

Tapi, atraksi yang sudah kapalan aku lakukan, kiranya memiliki sisi kegagalan. Roda depan motorku menghantam keras kepala Derrek. Kami berdua terjerembab ke dasar tong setan. Pengunjung kalang-kabut. Sebelum pandanganku gelap, aku melihat anak perempuan berambut panjang dan berwajah pucat itu, menyeringai.

Saat membuka mata, aku sudah di rumah sakit. Untung hanya wajah Derrek yang lecet-lecet. Sementara aku sehat-sehat saja. Tadi itu aku hanya shock.

Aku menatap Aron yang bersandar di pintu. Sebenarnya aku berat memutuskan hal ini. Tapi, aku tak boleh egois.

"Setelah aku pikir-pikir, kita pindah saja ke kota lain. Sepertinya kota ini tidak bersahabat dengan kita. Ron, kau pimpin anak-anak merapikan seluruh peralatan. Besok malam kita sudah harus meninggalkan kota ini."

"Siap, Bos!" Aku tak sempat melihat kilatan rasa senang dari matanya.

Ketika besok paginya aku sedang mencukur jenggot di bawah pohon beringin, anak perempuan aneh itu datang lagi.

"Apalagi? Aku tak hirau ancamanmu. Aku hanya benci kota ini. Aku harus pergi."

"Jangan! Kalian harus tetap di sini. Buka lagi pasar malamnya. Kau kenal Aron, kan?" 

"Ya, pasti! Dia tangan kananku."

"Dia memang tak ingin kalian membuka pasar malam di sini. Dia sudah diiming-imingi orang lain, yang juga ingin membuka pasar malam di sini, agar kalian hengkang secepatnya."

"Kenapa?" Aku menatapnya.

Dia menghela napas. "Ya, itu tadi, dia juga ingin membuka pasar malam. Tapi, pasar malam tipuan. Mereka bukan niatnya menghibur, tapi menjadikan tempat ini sebagai ladang perjudian dan pelacuran. Aku tak ingin tempatku dikotori." Dia bergegas pergi. 

Sebenarnya aku sudah berniat meninggalkan kota ini. Namun, karena ada pesaing bisnis pasar malam, aku menjadi tertantang. Aku juga ingin membuat Aron kesal karena mencoba menusukku dari belakang.

"Aron, arena pasar malam kita buka lagi."

"Lho, kok?"

Sejak saat itu tak ada yang mengganggu pasar malamku. Rencana sebulan beroperasi, aku tambahkan sebulan lagi. Aku penasaran ke mana anak perempuan aneh itu.

Saat pasar malamku akan meninggalkan lapangan itu, mataku tak sengaja melihat sesosok anak perempuan duduk di dahan pohon beringin. Dia melambai. Bulu kudukku seketika berdiri.

---sekian----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun