Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perut Bapak

9 September 2019   13:00 Diperbarui: 9 September 2019   13:04 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Perut Bapak semakin besar. Setiap kali  duduk berselonjor di sofa depan televisi, perutnya seolah gunung yang siap meletus. Sudah berulangkali aku dan Ibu memintanya menghentikan kebiasaan buruk itu. Tapi Bapak tetap keras kepala.

"Ini sudah kebiasaan Bapak. Tak bisa dihentikan! Lagipula, apa pernah Bapak jatuh sakit lantaran minum hampir setiap malam? Tak pernah, kan! Mati itu urusan Allah. Sakit dan sehat juga. Jadi kenapa harus pusing?"

Bapak memang senang minum minuman keras. Itu kebiasaannya sejak muda. Setelah menjabat manajer keuangan di perusahaan tempatnya bekerja, hampir setiap hari dia pulang larut malam. Selalu dengan mulut bau alkohol.

Terkadang aku berpikir, pada saatnya tiba, perut Bapak akhirnya meletus. Saat itu aku dan Ibu sedang asyik menonton televisi. Tiba-tiba pintu digedor. Buru-buru Ibu membukanya. Bapak berdiri di ambang pintu dengan tampilan kusut.  Dua buah kancing kemejanya bagian bawah, telah tanggal karena tak sanggup menyangga perut. Kulihat ada air di perut Bapak. Oh, bukan! Bukan air di perutnya, melainkan darah.

Belum sempat Ibu memapahnya masuk ke dalam rumah, perut itu tiba-tiba meletus seperti mercon. Lebih parah dari itu. Tubuh Ibu basah darah. Aku kemudian tak bisa melihat apa-apa karena darah telah membasahi mataku. Segera kubuang pikiran buruk itu. Dan memastikan bahwa aku tak pernah memikirkannya sama sekali.

Tapi kemudian, pikiran tentang perut meletus, atau lebih parah dari itu, ibarat martil memukul-mukul kepalaku. Bagaimana kalau Bapak mati mengenaskan? Sokib, tetanggaku, yang perutnya lebih besar dari perut Bapak, meninggal di rumah sakit.

Awalnya Sokib mengeluhkan perut dan dadanya panas. Dipikirnya masuk angin. Perut dan dadanya dilumuri balsem. Tapi dia bertambah merasa panas. Dia menjerit-jerit hingga istrinya panik. Kemudian dia dibawa ramai-ramai menumpang mobil Haji Kimin ke rumah sakit.

Kata dokter dia sakit liver. Hatinya hangus terbakar. Mungkin lantaran sering minum minuman keras. Hanya semalam di rumah sakit, besok paginya, Sokib meninggal.

"Apakah Bapak tak takut...." Ibu yang memulai percakapan, ketika kami sedang bersantai di depan televisi. Ibu selalu tak mampu menatap mata Bapak, setiap kali ingin memberi nasehat.

"Tak takut mati seperti Sokib maksudmu?" Perut Bapak sedikit berguncang. Suara televisi dia kecilkan. "Mati itu takdir! Urusan Allah!"

"Tapi urusan Allah juga kalau Bapak selalu minum minuman keras. Dosa, Pak!" Entah apa yang membuatku tiba-tiba mampu berkata lebih tajam kepadanya.

"Tahu apa anak bau kencur!" Bapak berdiri. Dia matikan televisi. Dia masuk ke kamar. Keluar lagi setelah bersalin pakaian. Katanya, rumah terasa panas mendengar ocehanku dan Ibu. Dia memilih pergi ke rumah Ildam. Tak pelak lagi, pasti mau berpesta minuman keras.

Beberapa kali aku akhirnya masuk-keluar toko buku. Aku membeli beberapa buku agama tentang alkohol dan keharamannya. Juga beberapa buku kesehatan tentang alkohol dan bahayanya. Buku-buku itu sengaja kususun di lemari dekat sofa tempat biasa Bapak berselonjor.

Berhari pula kutunggu, buku-buku itu seperti tak pernah disentuh, kecuali oleh debu. Aku berharap, bila tak mempan dengan lisan, mungkin dengan tulisan, hati Bapak terketuk. Bapak toh paling senang membaca!

Tapi di hari kelima belas, hatiku tercekat. Buku-buku itu lenyap dari lemari. Kutanyakan kepada Bapak, tapi jawabannya hanya entah. Ibu akhirnya memberitahuku kalau buku-buku itu telah dijual Bapak ke pasar loak.

"Aku tahu dosa minum minuman keras. Aku tahu bahaya alkohol. Suatu saat aku juga akan berhenti minum minuman keras. Tapi bukan sekarang." Itu kata-kata terakhir Bapak kepada Ibu sebelum dia menjual buku-buku itu ke tukang loak. Itu pula kata-kata terakhirnya menginjakkan kaki di rumah ini dengan kondisi gagah. Karena kabar selanjutnya, datang dari rumah sakit. Bapak semaput karena minum minuman keras oplosan. Begitu kabar yang disampaikan Ildam dengan terbata.

Bayanganku, perut besar Bapak meletus. Lantai rumah sakit basah oleh darahnya. Mungkin Ildam yang tak mau memberitahu langsung kalau perut Bapak meletus, dan nyawanya tak tertolong.

Tapi Allah berbaik hati kepada Bapak. Perutnya tak meletus. Hanya tangisannya yang kemudian menerima aku dan Ibu. Berkali-kali dia menyesali perbuatannya. Berkali-kali dia berucap akan bertobat. Begitupun, hasil diagnosa dokter, liver Bapak telah terbakar, sama seperti yang dialami Sokib. Bedanya, Bapak masih berumur panjang.

Betapa aku bersyukur perut Bapak akhirnya tak meletus. Tentu ke depan, dia akan menjadi lelaki baik-baik. Kalau tak dikait-kaitkan dengan minuman keras, dia adalah lelaki tanpa cacat.

Mungkin Bapak hanya seminggu-dua di rumah sakit. Namun seminggu-dua terlewati, kondisinya tak membaik. Aku telah salah menganggap perut Bapak tak jadi meletus. Padahal lambat-laun, semakin kurasakan bahwa perut itu sesungguhnya telah meletus.

Aku dan Ibu mulai merasakan dampaknya. Mula-mula kartu asuransi kesehatan Bapak masih berlaku. Kemudian tak berlaku lagi setelah Bapak tak kunjung bisa keluar dari rumah sakit. Perusahaan tempatnya bekerja pun, dengan tak enak hati, memecatnya dengan hormat, plus dengan sumbangan serta pesangon.

Kemudian beberapa kapling tanah Bapak terjual. Disusul rumah kontrakan. Disusul ruko tingkat dua. Pada akhirnya, semua habis, dan rumah sakit dengan lembut menendang Bapak.

Bapak kini dirawat di rumah. Ajaib, perutnya sudah mengempis. Tapi bekas letusannya, tetap kami rasakan sampai kini. Entah sampai kapan.

---sekian---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun