Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Senja

7 September 2019   18:00 Diperbarui: 7 September 2019   18:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tersentak. Tubuh saya gemetaran. Beginilah rupa setan yang sebenarnya! Tak menakutkan sangat. Tapi lakunya selama ini, bahkan yang terkabar di kitab-kitab, telah membuat sejagat raya takut dan memusuhinya. Harusnya saya blak-blakan mengumbar amarah kepadanya. Dialah yang membuat saya harus kehilangan istri dan anak akibat pertengkaran yang  tak sudah. Dialah yang menggoda saya agar menyemai benih pertengkaran dengan umpan seorang Misse yang memiliki tubuh ranum dan harum. Saya berselingkuh oleh bujuk rayu kaum setan. Jadi, kenapa sekarang dia malah menuduh manusia telah memiskinkan kaumnya?

"Dengarlah, kami sudah banyak di-phk oleh bapak iblis. Pikirlah, sekarang tanpa kami rayu dan goda, manusia telah melakukan dosa berjamaah tanpa malu. Orang berzina menjadi kebanggaan dan rutinitas. Malahan dipertontonkan. Korupsi dibela karena pelakunya banyak harta. Pasar-pasar sudah dipenuhi penipu, pencopet, penodong, penjambret. Gedung-gedung penuh maksiat. Coba, bagaimana cara kami menggoda orang yang telah tergoda tanpa kami goda?"

Saya terdiam. Angin panas menampar-nampar dari pintu. Daunnya terbanting-banting.

"Telah habis kesabaran bapak iblis, yang kemudian tak hanya menurunkan pangkat kami. Sekaligus dia membuat kami sengsara di dalam gedung ini seibarat tahanan. Kami dikatakan tak becus menggoda manusia. Tak becus bekerja. Tapi siapa yang bisa kami goda? Manusia malahan lebih parah dari kami. Mereka bisa saling membunuh. Bisa saling menyakiti. Kami, hanya penggoda dan tak pernah memaksakan kehendak dengan kasar sampai kalian tergoda. Sesama kami saling melindungi dan tak pernah saling menyakiti apalagi sampai membunuh. Konon, bapak iblis sekarang lebih memilih manusia sebaga bala tentaranya. Kata bapak iblis, manusia lebih hebat tipu dayanya ketimbang anak buahnya ini; para setan. Jadi, tolonglah Pak Murad menjadi orang baik . Sekali ini saja untukku. Agar aku bisa bekerja, bisa naik pangkat. Bisa makan enak."

"Tapi, bukankah kalian yang membuat keluargaku hancur berantakan?"

"Sama sekali tidak, Pak. Aku mengakui pernah beberapa kali menggodamu agar tak shalat dan puasa. Tapi itu dulu sekali. Ketika kau masih muda. Setelah kau bekerja di instansi pemerintahan dengan cara menyogok---dan itu bukan atas rayuanku---kau tak perlu lagi kugoda untuk tak shalat dan puasa. Kau sudah terlalu pintar, Pak. Bahkan untuk mengorupsikan uang negara tanpa bujuk rayuku. Semua murni dari nafsu dan kelicikan otak di dalam kepalamu. Mengenai keluarga, bukankah kau sendiri yang tertarik kepada Misse? Kemudian kalian berselingkuh. Kemudian nikah siri dan terbongkar di media. Wajar kemudian istrimu meminta cerai sekaligus merenggut anak-anak darimu. Jadi, kami mohon berubahlah menjadi orang baik."

Saya mendengus.

"Kami sudah mencoba mencari orang baik, bahkan sampai ke masjid. Tapi hanya segelintir yang kami temukan. Segelintir itu yang kami perebutkan. Ternyata pula di luar saja mereka itu yang terlihat baik. Di dalam hatinya terkadang terselip ria, atau hanya sekadar ingin menumpahkan gulana. Bukan semata niat tulus beribadah kepada Yang Mencipta."

"Jadi, kau pikir sampai sekarang ini aku belum termasuk orang baik?"

"Sama sekali belum." Dia tertunduk. "Kau bukan yang pertama diundang ke mari, Pak Murad. Sudah banyak. Bahkan kami menyembah-nyembah mereka agar menjadi orang baik. Hanya saja janji mereka cuma sekadar janji. Ketika kembali ke alamnya, mereka tetap berlaku jahat. Kami tetap tak bisa bekerja. Kami tetap menjadi pesakitan di gedung ini. Dulunya kami hanya ratusan, sekarang sudah ribuan, jutaan. Kami kelaparan dan tertindas."

"Apakah menjadi baik itu bisa direkayasa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun