Sesudah pindah ke Palembang, saya baru merasakan bagaimana sebenarnya menulis yang bersih. Saya mulai mempergunakan komputer dengan perangkat dos dan disket.Â
Dos adalah disket besar sebagai kunci pembuka komputer, sementara kalau menyimpan file bisa di hard disk atau disket. Saya juga belum tahu dengan dunia internet, dan koran mafhum adanya. Jadi, setiap tulisan, saya antar langsung ke kantor koran bersangkutan.
Begitulah seterusnya hingga saya mulai mengenal komputer canggih yang tak lagi butuh disket tapi flashdisk. Cuma duduk manis di depan komputer, bisa mengirimkan tulisan ke mana-mana hanya beberapa detik mempergunakan e-mail. Tulisan saya tak melulu dikirim ke koran di Palembang, tapi ke media-media lain di seantero Indonesia. Ada yang dimuat, tapi lebih banyak gagal.
Pada akhirnya saya kepincut Kompasiana (meski sudah lama memperoleh akun, tapi baru 2019 konsisten menulis) dan saya betah berumah di dalamnya. Bagi saya ada beda Kompasiana yang sangat besar dengan media cetak.Â
Memang honor di media cetak lumayan menggiurkan, tapi untuk lolos dalam pintu yang sempit dengan persaingan lumayan ketat, sebuah tulisan akan menemui nasibnya hingga tiga bulan baru bisa dimuat di media tersebut, atau hanya akan didelete.Â
Sementara di Kompasiana, sama seperti mengirim email, setelah disubmit, tulisan otomatis dimuat bila tak ada pertentangan dengan peraturan di Kompasiana. Hanya receh, tapi apa yang akan didapat itu pasti. Tanpa ngotot-ngototan menagih penghasilan (honor) seperti di media cetak.
Sementara platform yang hampir mirip Kompasiana sudah beberapa saya sambangi. Mulai dengan rayuan dolar, tapi harus berhasil mengumpulkan 1000 viewers dalam beberapa hari.Â
Bahkan ada yang mesti antrian sampai lumutan, eh, akhirnya ditolak. Jadi, paling the best adalah Kompasiana. Omong-omong pengalaman kamu menulis bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H