"Siapa, Prof?" tanyaku. Dia kembali duduk di seberangku. Pesanan kami datang.
"Astaga! Aku sampai lupa. Titok itu sudara bungsuku."
"Kepada saudara bungsu kok hormat sekali?"
Dia kemudian lebih banyak diam, apalagi makanan mulai dihidangkan di meja. Â Sebab aku juga tak banyak bicara, dia mulia bercerita jika Titok itu orang yang cerdas.Â
Sejak sekolah dasar, hingga SMA, dia selalu masuk tiga besar di kelasnya. Namun, manakala dia ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi bernama universitas, hasratnya segera dibuntal, karena sang ayah meninggal diseruduk babi hutan.
Lamtam yang saat itu hampir semester lima, dan Bilang si tengah, semester tiga, bersikeras putus sekolah dan kembali ke kampung untuk membela keluarga. Tapi, Titok memaksa dialah yang mesti berjuang. Lantam dan Bilang sudah setengah jalan untuk menjadi sukses. Dia, apabila diputus di tengah jalan, sepertinya tak ada masalah.
Akhirnya Titok yang tetap di  kampung, mengolah sawah dan kebun. Sehingga dia lebih cepat dewasa dan terlihat tua ketimbang kakak-kakaknya. Dia rela menggadaikan masa mudanya demi melihat air mata bahagia dari sang ibu, manakala ada anaknya yang hidupnya sukses.
"Kenapa kau tak pernah bercerita tentang kondisi ini?" protesku. Jawabnya, sesuatu yang harus diceritakan kepada teman, mestinya kesenangan, bukan kesedihan
"Jadi, aku pulang kampung mau menjadi petani."
"Profesor mau menjadi petani, apa itu tidak salah?"
"Profesor yang sebenarnya adalah petani. Mereka pahlawan yang terkadang kita lupakan. Kalau seorang montir pesawat, hanya membuat sesuatu yang hanya bisa dinikmati segelintir orang berpunya. Petani, bagaimana pun kere hidup mereka, tapi hasil karya mereka dapat kau dan aku nikmati. Bahkan ratusan juta rakyat. Mereka sesungguhnya yang profesor itu, meski mereka tak perlu berkepala botak dan tetap berperut rata. Tak perlu berpantang makan sesuatu karena takut kolesterol dan gula." Lantam tertawa.