Aku menjelma burung merak, mengepak-ngepak sayap dan memeluknya erat. Dia terkekeh, lebih mengeratkan peluk.
"Kau memang pandai memosisikan diri sebagai saudara tua. Rambut silver dan perut buncit, ck ck ck benar- benar tua kau, Harefa."
"Kau masih kelihatan muda. Apakah ini hasil suntik silikon?" sindirku. Lantam mengajakku duduk di dekat  kasir. Setelah menyuruh pelayan mengantarkan menu, dia katakan haram baginya mengubah-ubah ciptaan Tuhan. Semua tampilan muda mutlak karena dia selalu berpikir rileks, meskipun pekerjaan sebanyak dan serumit apapun. "Juga aku sering jogging. Mungkin kau..." tambahnya sambil tertawa. Kali ini dia  seperti ingin menyindirku.
Sejak kami bersahabat, aku  biangnya pemalas. Sehari-sehari aku lebih sering mendekam di tempat kos. Kalau tak sedang sibuk dengan urusan kuliah, paling tak aku menulis cerita pendek dan puisi. Sementara Lamhot nyaris tak pernah ada di rumah.
Dia orang yang terkesan aktif. Bahkan sambil kuliah, dia bekerja. Wajar saja pada semester tiga, dia nekad mengkredit rumah. Tapi, dia kembali menjual rumah itu saat hendak berangkat ke Jerman.
"Oh, iya! Kau mau pesan apa?" Dia membolak-balik buku menu.
"Hmm, mungkin secangkir jus buah naga, dan martabak kari."
"Kalau aku butuh secangkir kopi dan pempek kapal selam."
Kami mulai berbicara ngalor-ngidul, menunggu makanan terhidang di meja.
Tiba-tiba dia seperti tersadar, dan memanggil orang unik yang sekarang duduk tak jauh dari tivi. Orang itu menonton "disovery channel'.
Dia mendatangi kami. Tapi, bukan untuk bergabung bersama. Ketika Lantam mengenalkan aku kepadanya---namanya Titok---dia mengatakan mau jalan-jalan sebentar. Dia diantar Lantam ke halaman kafe, memberinya beberapa lembar uang, dan menyetop taksi. Lantam mencium takzim tangan Titok sebelum dia lenyap dibawa taksi.