Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haji Jubir

10 Agustus 2019   12:35 Diperbarui: 10 Agustus 2019   12:40 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini berasal dari sebuah rumah yang mentereng di bilangan pinggir kota. Haji Jubir pemiliknya. Dia seorang pengusaha supermarket kelas kakap. Kendati super kaya, hidupnya tak peduli dengan glamour dunia. Hari-harinya penuh ibadah. Jangan dikata shalat wajib, shalat sunat saja tak pernah lowong.

Dari shalat hajat, dhuha, qobliah-bakdiah, tahiyatul Masjid, tahajud, hajat, hingga ditutup witir. Dari puasa wajib di bulan Ramadhan, puasa sunat Senin-Kamis, puasa syawal, dan puasa sunat lainnya. Hari-harinya selalu dipenuhi ibadah. Sepertiga hidupnya adalah di Masjid, sepertiga di tempat pekerjaan, sepertiga untuk tidur. Wajarlah orang menyebutnya, calon penghuni sorga. Amat mustahil dia dijilat api neraka. Bila menjelang shalat wajib, dia sudah berada di Masjid. Dia paling awal sebelum jamaah lain datang. Dia paling akhir pulang, setelah jamaah terakhir pulang.

Akan hal lelaki miskin yang rumahnya menempel di dinding rumah Haji Jubir, Marjuki namanya. Seorang tukang tambal ban. Pada saat bulan Ramadhan tiba, dia memang ikut puasa sebulan penuh. Tapi, tak sehari pun dia melaksanakan puasa sunat. Dia jamaah yang selalu paling akhir tiba di Masjid saat akan melaksanakan shalat wajib. Pun dia pula jamaah pertama keluar dari masjid sebelum jamaah lain pulang.

Dia hanya melakukan ibadah yang wajib-wajib saja. Berhaji saja belum pernah. Dia terlihat selalu mementingkan tambal ban ketimbang ibadah. Bahkan hidup di dunia begitu ngotot, karena saat lebaran tiba, bukannya sibuk di rumah menunggu tamu datang, eh, dia malahan membuka lapak tambal ban. Dia setiap hari buka dari pukul tujuh pagi dan tutup pukul satu dini hari. Orang yang ngotot dunia, tapi tak pernah menyicip kekayaan.

***

Tiba-tiba waktu itu datang, seluas mata memandang hanya lautan manusia yang menjerit, menangis ingin dimintakan balik ke dunia. Hanya sedikit sekali orang yang bisa tersenyum. Sementara Haji jubir merasa agak tenang ketika memikirkan ibadahnya di dunia. Tapi, tiba-tiba dua orang yang sangar mengepit tubuhnya, meraka mengarahkan Haji Jubir ke kobaran api, bukan ke jembatan yang lebih halus dari rambut dibelah tujuh, dan lebih tajam dari mata pedang itu. Lalu, dia melihat seorang lelaki yang melambai kepadanya, seakan kilat melintasi jembatan sambil tertawa sukacita.

Haji Jubir tersentak, "Sebentar! Aku mau protes. Kenapa lelaki itu begitu mudahnya melintasi jembatan, sementara aku kalian bawa ke api yang menyala-nyala. Bukankah kalian tahu, hajiku sudah berapa kali? Keningku menghitam, kakiku kapalan sebab sering sujud, perutku rata karena senang berpuasa. Apa guna ibadahku?"

"Kami akan membawamu ke neraka," jawab salah seorang di antara dua orang itu. "Kau merasa bangga dengan ibadahmu, tapi pernahkah kau berpikir untuk membenarkan jalan di depan rumahmu? Memasang lampu jalan agar orang yang lalu-lalang menuju Masjid bisa tenang. Tahukah kau jalan buruk di depan rumahmu membuat banyak kendaraan yang kesusahan melintas? Apakah kau pernah membantu fakir-miskin, anak-anak yatim yang butuh uluran tangan? Kau hanya sibuk dengan ibadah agar bisa diridhoi Allah SWT. Tapi, kau tak peduli sesama. Hanya supermarketmu makin besar dan tersebar di mana-mana."

"Lalu, si Marjuki itu kenapa langsung melesat ke sorga? Ibadahnya tak hebat-hebat amat. Dia lebih mementingkan dunia ketimbang akhirat," protes Haji Jubir.

"Ya, kau benar. Ibadahnya memang yang wajib-wajib saja. Dia hanya memikirkan tambal ban. Dia merasa susah bila ada pengendara yang ban kendaraannya pecah, mau kemana menambal bannya kalau lapaknya tutup? Maka setiap selesai shalat wajib di Masjid, dia bergegas pulang. Dia tak pernah mencekik pelanggan dengan harga yang selangit, meskipun dia satu-satunya tukang tambal ban di situ. Bahkan bila ada orang yang kekurangan uang untuk membayar jasanya, dia meminta ditangguhkan sisanya. Bila sisa yang ditangguhkan itu tak juga dibayar, dia ikhlaskan, anggap saja sedekah. Kalau pelanggan tak ada uang untuk membayar jasanya, dia juga ikhlas. Asal orang itu bisa mengerjakan apa yang menjadi tujuannya. Itulah mengapa lapaknya sudah dibuka pukul tujuh pagi, dan ditutup pukul satu dini hari. Kau tahu kenapa dia sampai buka saat lebaran tiba? Hanya karena dia tak ingin orang terkendala silaturahmi karena ban kendaraan bocor. Jalan di depan rumahmu memang buruk sekali."

"Lho, itu kan urusan Pekerjaaan Umum. Mereka yang harus memperbaikinya."

"Kau benar, Jubir. Tapi kau ada kesanggupan untuk membenarkan jalan itu. Mengapa harus menunggu negara? Mungkin dengan mengumpulkan keuntungan supermarketmu selama beberapa hari, jalan itu bisa kau bangun semulus-mulusnya. Seakarang, makanlah ibadahmu, masuklah ke neraka."

Haji Jubir berteriak meminta tolong, tapi tak ada yang mau menolong. Semua mengurus dirinya masing-masing. Haji Jubir menggapai-gapai. Untung seseorang memanggil namanya, sehingga dia tersentak sembari bersimbah keringat. "Oh, rupanya hanya mimpi," ucapnya. 

Pagi ini dia berencana melakukan pembangunan jalan yang rusak di depan rumahnya agar tak menyusahkan orang lain. Dia juga akan semakin giat membantu tetangga. Dan Marjuki, akan dibantunya agar hidupnya semakin berwarna.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun