Masih membekas di benak ini wajah emak yang sedih, luruh di tengah badai pertengkaran dengan ayah. Saat itu usiaku hampir menginjak enam tahun.Â
Nenek dan bibi yang tak ingin aku menjadi rebutan kedua orangtuaku, menitipkanku di rumah saudara terdekat yang berjarak hampir limapuluh meter dari rumahku. Itulah terakhir kali aku melihat emak. Seterusnya aku hidup berdua dengan ayah. Hidup dalam nestapa karena berhari-hari aku tiada bisa melupakan orang yang telah melahirkanku itu.
Hampir lima bulan setelah pertengkaran emak dan ayah, dan tanyaku tentang di mana emak serta bagaimana kondisinya, selalu tak berjawab, ayah tiba-tiba membawa perempuan lain ke rumah. Pertama datang aku memanggilnya tante. Kali kedua, saat kami bersua di pasar, perempuan itu merayuku memanggilnya mama. Namun aku menggeleng marah.Â
Ayah kelihatan kesal. Hanya saja dia tak ingin berlaku keras kepadaku. Dia mungkin sadar bahwa tak mudah untuk memberiku pemahaman bahwa ayah dan dia segera menikah.
Nyatanya di bulan ketujuh setelah kepergian emak, mereka menikah. Mereka kelihatan sangat bahagia. Mereka membiarkanku nelangsa sambil meratapi emak yang tak kunjung kembali.Â
Sementara tante mulai memasuki kehidupan keluarga kami dengan pongahnya. Jika ada ayah, dia lembut bukan kepalang kepadaku. Berbeda kalau ayah tak ada, dia berubah menjadi srigala yang setiap saat bisa mencelakaiku.Â
Sering kuceritakan kepada nenek tentang tingkah laku tante yang membuatku sengsara. Sayang, nenek mengatakan kalau itu hanya prasangkaku saja. Begitu mengadu ke bibi, jawaban yang kuterima setali tiga uang. Malahan bibi membentakku.Â
Dia mengatakan aku anak manja, cengeng dan tak tahu diuntung serupa emak. Aku tergoda menanyakan kenapa emak tak tahu diuntung. Bibi menghindar. Dia tak mau lagi berbincang lama-lama denganku. Dia takut salah ngomong.
Setahun lebih setelah pernikahan ayah dan tante, lahirlah anggota baru di tengah keluarga kami. Tante yang sebelumnya memang bengis, bertambah bengis saja. Dia tak sungkan memarahiku di depan ayah. Anehnya ayah bukannya membela, melainkan balas memarahiku.
Kata teman-teman di sekolah, memiliki ibu tiri itu memang menyakitkan. Mereka pernah mengajakku menonton film di video yang mengisahkan kekejaman ibu tiri, sehingga bulu kudukku merinding. Belakangan aku tak berani pulang ke rumah. Aku takut disiksa tante seperti di film yang kutonton.
Aku meminta perlindungan kepada nenek. Aku mengatakan tak mau lagi tinggal serumah dengan ayah dan tante. Sebab iba melihatku, nenek mau saja. Nenek memberitahu ayah bahwa aku ngotot tinggal di rumah nenek.Â
Ayah maklum. Dia mengelus kepalaku dengan lembut. Sementara tante meminta maaf kalau-kalau dia telah berlaku kasar  kepadaku. Ah, hanya basa-basi!  Cuma tipu daya!
Sebulan tinggal di rumah nenek, ayah dan tante pindah ke kota J. Ayah dimutasikan. Aku menanggapinya tenang-tenang saja. Lebih baik mereka pergi ketimbang aku berurusan terus dengan perempuan hantu serupa tante.
Lambat laun aku melupakan tentang emak, ayah dan tante. Kesibukan belajar di sekolah, dan banyaknya teman bermainlah yang membuatku demikian. Tapi menjelang SMP, aku mulai teringat emak. Aku merindukannya. Maka kurongrong nenek dengan pertanyaan beruntun.
"Nek, kenapa emak pergi dari rumah? Ke mana dia pergi? Di mana rumahnya? Kapan aku bisa menemuinya?" Begitu kira-kira bunyi pertanyaanku. Sayang sekali, pertanyaanku tak memperoleh jawaban memuaskan. Aku hanya disebut anak kecil yang tak perlu mengetahui masalah orang dewasa.
Kesal dengan jawaban nenek, suatu hari aku mencoba mencari keterangan dari bibi. Jawaban darinya hanyalah omelan panjang-pendek. Telingaku sakit dibuatnya. Dia malahan mengadu kepada nenek bahwa aku mulai neko-neko. Aku perlu dikasih pelajaran supaya jangan selalu mengungkit-ungkit masa lalu. Mengungkit kenangan pahit!
Aku tak lagi banyak bertanya. Namun di malam-malam larut dan lunta, aku kerap menangis mengingat emak. Di dalam doa-doa dengan urai air mata, aku selalu memohon agar bisa dipertemukan dengannya.Â
Bagaimanakah kondisinya? Apakah dia baik-baik saja? Aku membayangkan hidup emak yang kesusahan. Aku merasakan kepedihannya karena rindu kepadaku.Â
Tak ada seorang emak yang bisa melupakan anak yang keluar dari rahimnya sendiri. Tak ada yang bisa menghilangkan rindu kepada sosok yang adalah salah satu bagian tubuhnya itu. Tuhan, tolong bantu aku agat bisa bertemu emak.
Sekali dua aku bertanya kepada para tetangga mengenai emak Sebagian ada yang ogah menjawab sebab takut. Ada juga yang tak mau tahu. Tapi seorang-dua pernah menginformasikan bahwa emak masih berada di kota P. Emak tak sanggup menemuiku. Dia telah diancam keluarga ayah, bahwa sekali saja kedapatan menemui aku, emak akan diberikan pelajaan setimpal, Oh, kasihannya emak!
Setamat SMP, aku melanjutkan ke SMA. Kebetulan SMA-nya jauh dari rumah nenek, Sering sepulang sekolah aku berkeliaran dulu mencari tempat tinggal emak. Siapa tahu aku berejeki dan bisa bertemu dia.Â
Ujung-ujungnya tersebab sering terlambat pulang sekolah, aku selalu dicecar nenek dengan berbagai pertanyaan. Terpaksalah aku berbohong bahwa aku ada les sore di sekolahan, atau jalanan macet.Â
Tampaknya  nenek memercayaiku, hingga semakin seringlah diri ini mencari-cari keberadaan emak. Walau itu sama saja seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Suatu hari keberuntungan memihak kepadaku. Saat pergi ke pasar malam bersama keluarga bibi, aku tiba-tiba melihat perempuan yang samar kukenal. Ketika dia menoleh dan memanggil namaku, barulah aku sadar bahwa dia adalah emak.Â
Tapi suami bibi lekas menyeretku menjauh. Sedangkan bibi mengepalkan tinju ke perempuan itu. Kami langsung naik bis kota yang buru-buru distop bibi.
Aku berontak. Aku marah besar. Aku mengatakan ingin menemui emak. Nenek dan keluarga bibi marah. Mereka mengancam akan mengusirku bila banyak ulah. Mereka kelak  mengusir tanpa membekaliku sesuatu pun kecuali baju yang melekat di badan.
Aku ketakutan setengah mati. Apalagi bibi mengancam akan mengadukan emak ke polisi bila suatu hari nanti aku tanpa sengaja atau memang disengaja bertemu dia. Kasihan emak. Aku tak ingin dia berurusan dengan hukum.
Di usia duapuluh tiga tahun aku menikah dengan seorang perjaka dari kota S. Tapi hatiku sangat sakit sebab acara pernikahan kami tak dihadiri emak. Pendamping di pelaminan hanya ada ayah yang berpasangan dengan bibi.Â
Padahal aku sempat meminta kepada ayah agar membiarkan emak menemani aku saat melaksanakan acara sakral pernikahan itu. Namun jawaban ayah sangat kejam. Pernikahanku akan dibatalkan bila aku terlalu menuntut kehadiran sosok emak.
Sampai sekarang keinginan menggebu tetap memagut hati ini. Mungkin setelah mengontrak rumah bersama suamiku, keinginan bertemu emak segera terwujud. Aku sudah bebas, mandiri.Â
Tak ada lagi yang boleh mengekang niatku kalau tak ingin berhadapan dengan suamiku yang anggota polisi itu. Oh, Tuhan kabulkanlah keinginan hambamu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H