Tampaknya  nenek memercayaiku, hingga semakin seringlah diri ini mencari-cari keberadaan emak. Walau itu sama saja seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Suatu hari keberuntungan memihak kepadaku. Saat pergi ke pasar malam bersama keluarga bibi, aku tiba-tiba melihat perempuan yang samar kukenal. Ketika dia menoleh dan memanggil namaku, barulah aku sadar bahwa dia adalah emak.Â
Tapi suami bibi lekas menyeretku menjauh. Sedangkan bibi mengepalkan tinju ke perempuan itu. Kami langsung naik bis kota yang buru-buru distop bibi.
Aku berontak. Aku marah besar. Aku mengatakan ingin menemui emak. Nenek dan keluarga bibi marah. Mereka mengancam akan mengusirku bila banyak ulah. Mereka kelak  mengusir tanpa membekaliku sesuatu pun kecuali baju yang melekat di badan.
Aku ketakutan setengah mati. Apalagi bibi mengancam akan mengadukan emak ke polisi bila suatu hari nanti aku tanpa sengaja atau memang disengaja bertemu dia. Kasihan emak. Aku tak ingin dia berurusan dengan hukum.
Di usia duapuluh tiga tahun aku menikah dengan seorang perjaka dari kota S. Tapi hatiku sangat sakit sebab acara pernikahan kami tak dihadiri emak. Pendamping di pelaminan hanya ada ayah yang berpasangan dengan bibi.Â
Padahal aku sempat meminta kepada ayah agar membiarkan emak menemani aku saat melaksanakan acara sakral pernikahan itu. Namun jawaban ayah sangat kejam. Pernikahanku akan dibatalkan bila aku terlalu menuntut kehadiran sosok emak.
Sampai sekarang keinginan menggebu tetap memagut hati ini. Mungkin setelah mengontrak rumah bersama suamiku, keinginan bertemu emak segera terwujud. Aku sudah bebas, mandiri.Â
Tak ada lagi yang boleh mengekang niatku kalau tak ingin berhadapan dengan suamiku yang anggota polisi itu. Oh, Tuhan kabulkanlah keinginan hambamu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H