Aku ingin kau hadir di rumah kita pada malam itu, ketika geleser ban mobil mengurai batu koral, ketika langkah kakimu menghalau dingin. Pintu pun terbuka. Lampu-lampu taman menyeruak masuk. Juga angin yang mengabarkan malam akan hujan.
Kau mendaratkan kecup ringan di pipi, setelah teh hangat menjalari liang lehermu. Dan meja makan menyambutmu. Semangkok sop akan menghangatkan makan malam yang terlambat. Kau menanyakan tentang Ibo. Bocah kecil itu bergegas merampungkan mimpi yang tanggung. Dia berulangkali menguap. Mendekap lingkar perutmu yang mulai membesar, mengalahkan lingkar perutku.
Kutahu dengkur halus Ibo mengabarkan dia melanjutkan keping mimpi yang terserak tentang negeri di awan. Kau akan menyudahi suapan terakhir. Menanyakan kabar kandunganku. Menanyakan tentang ngidamku. Kau yakinkan aku, bahwa kau akan mencarinya. Meski hanya sampah dan tikus tua  yang tinggal di pasar-pasar, menjaga malam hingga fajar. Pasti tak ada yang kau cari di sana, selain membuntal angin, menyerahkan selarik kecewa, yang kau faham akan tumbuh di mataku.
Aku tak ingin menumbuhkan kecewa itu. Kau menggendong Ibo, memberikannya pada sang malam agar menjaga tidurnya yang lelap. Aku sempatkan bertanya tentang air hangat dan bathub menggoda. Kau hanya mengulum senyum. Dingin seperti kelewat nakal. Dan kau lebih nakal dengan matamu yang binal.
Saat kau mengganti cahaya 18 watt dengan 5 watt. Saat kau berusaha menggendong tubuhku yang katamu bertambah berat. Kau geli, menyerah, takut encokmu kumat. Aku berbaring, menunggumu turun ke ranjang. Membiarkan aku melabuhkan kepalaku di dadamu yang bidang.Â
Selalu begitu setiap malam ketika kau harus menyerah pada sang lembur. Meski cara menikmati sisa malam itu, kita bisa mengubah-ubah menu agar tak jenuh.
Tapi, malam ini semua itu seperti lenyap dalam kotak pandora. Kau belum juga pulang. Anak-anak pasti sibuk dengan keluarganya, setelah mereka mengecupku mesra lewat horn telepon. Aku juga telah menghabiskan susu hangat. Aku juga telah merasa berulangkali  menamatkan novel kesayangan kita. Meski aku hanya berkutat antara halaman satu dan dua.
"Apa yang kau cari, Palupi?" Maya mendekatiku, kepayahan memutar roda kursi dorongnya. Roda kursi dorong itu berkarat di beberapa bagian. Kandre telah berulangkali lupa meminyakinya. "Kalau kau mencari majalah, semua sudah diserahkan ke tukang loak oleh Kandre." Dia menepuk-nepuk punggung tanganku.
Lalu, kami membisu. Aku memikirkanmu kenapa tak pulang-pulang. Mungkin Maya juga bepikir tentang suaminya. "Bagaimana dengan rajutanmu?" tanya Maya.
"Rajutan? Hmm, lupakan rajutan itu! Plus kaca mataku sepertinya bertambah. Aku salah merajut, dan harus memulai dari awal."
Kami terdiam lagi. Aku mengambil tongkat, mendekati pot kembang. Aku menyiramnya dengan air di gayung yang selalu setia mendampinginya. Maya tiba-tiba kembali dengan kesibukan barunya; bernyanyi sambil mengetuk-ngetukkan ujung kaki ke bawah meja. Suaranya fals, dan telingaku sakit mendengarnya, meski tak ada niatku melarangnya bernyanyi. Aku tak ingin menyakiti orang lain. Tapi, bukan berarti aku tak pernah disakiti mereka. Anak-anak telah berusaha membunuhku.
Kau tahu, suamiku? Aku benci tempat ini. Kemarin orang yang tinggal di sebelah kamarku, mati. Dia sudah mulai berbau ketika ditemui kejang di kamar mandi. Keluarganya tak ada yang datang. Hanya transferan yang diterima suster kepala, serta pesan singkat lewat ponsel, mengabarkan bahwa anaknya sedang di luar negeri, sedang jalan-jalan.
Ada juga pesan, semua biaya akan dintransfer lagi, bila tak cukup untuk prosesi pemakamannya. Dia sekarang tinggal di gundukan sederhana di belakang aula panti werdha, di bawah pohon kamboja yang malas berbunga.
Aku bertambah takut sekiranya itu terjadi padaku. Seluruh penghuni panti werdha akan heboh karena menemukanku kejang di kamar mandi. Anak-anak dan keluarganya membiarkan aku sampai keras di tempat persemayaman. Tapi, aku lebih beruntung dari orang yang mati di sebelah kamarku.Â
Jasadku memang dibawa pulang setelah aku tak lagi diperlukan. Ada orang-orang yang dibayar untuk memuluskan prosesi pemakamanku.
Aku tak tahu apakah anak-anak dan keluarganya ikut menyalatkanku. Atau hanya tangis mereka saja yang keluar, bukti mereka masih terlahir dari rahim ibu, bukan dari pokok bambu.
Suster kepala meneriakkan tiba saatnya seluruh penghuni menikmati asupan kacang ijo. Aku menatap Maya. Dia mengerti maksudku. Kami menunggu seluruh orang memasuki aula. Sesuai janji tadi pagi, aku akan menemuimu, dan dia menjumpai suaminya. Kutanya, apakah dia sanggup tak memakai kursi roda. Dia memastikanku bahwa dia bisa mempergunakan tongkat. Kami menyelinap dari rimbun bunga begitu suasana amat sepi.
Kandre pernah mengatakan kalau ke pemakaman, kami harus menumpang angkot 61, berwarna biru tua. Untunglah setiba di pinggir jalan, angkot itu muncul terseok-seok, dan berhenti tepat di depan kami.
"Mau ke mana, Mbah?" tanya sopir sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela angkot.
"Pemakaman kamboja!"
"Malam ini?"
"Memangnya ada masalah bagimu?"
"Oh, duduk di depan saja, Mbah." Si sopir mengiringi kami ke pintu sebelah kiri.
Kami sampai di pemakaman ketika mendung menggelayut di langit. Aku teringat sebuah halte. Hujan rintik-rintik. Dan kau datang menawarkan boncengan. Kau ingat waktu itu kita hampir tamat SMA? Kau sangat terlambat menyapa, membiarkan tiga tahun tersia. Kau dengan percaya diri mengatakan lebih baik terlambat atau tidak sama sekali.Â
Waktu itu hujan mengajari kita tentang dingin dan basah. Kau mengantarkanku sampai di teras rumah. Ibu masih sempat berterima kasih kepadamu sambil tersenyum manis. Setelah kau lenyap di pengkolan jalan, ibu merepetiku habis-habisan. Â Tentang demam dan flu. Aku memang tak bisa terkena hujan, karena langsung demam dan flu. Dan hasilnya aku mulai bersin-bersin. Ibu berhenti merepet. Dia bergegas ke dapur, serta menyuruhku lekas bersalin pakaian.Â
Saat aku meringkuk di bawah selimut, ibu datang dengan secangkir wedang jahe dan semangkok sop hangat. Dia memijit-mijitku sesudah kenyang, sampai aku terlelap.
Ingat itu aku lebih sering menangis. Ingat kau, rasa rinduku mengarat.
Maya pergi ke ujung pemakaman, dimana suaminya terkubur. Sementara aku terpaku menatap kuburmu. Kau sangat tak terawat. Rumput ilalang alangkah tingginya! Sampah dedaunan alangkah joroknya!Â
Apakah kau rindu padaku?
Hujan mencoba mengganggu kita. Aku dan Maya bergegas ke sebuah pondok.
"Lapar, ya?"
Maya mengangguk. Hujan semakin lebat. Aku dan Maya berpelukan menghalau dingin, hingga kami tertidur lelap.
Mungkin suster cemas mengetahui kami tak ada. Yakinlah, kami tak akan mengganggu kalian. Rang-ring telepon mengganggu anak-anak dan keluarganya, mengabarkan aku melarikan diri. Yakinlah, aku tak akan menyusahkan kalian.
Hanya saja kalian jangan terkejut ketika kami ditemukan telah kaku. Blitz kamera jurnalis akan membisniskan kami. Anak-anak dan keluarganya meraung-ratap. Apakah air mata mereka murni atau hanya air mata buaya, aku tak tahu. Yang penting aku bahagia melihatmu mengembangkan tangan ingin memelukku.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H