Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Kau Cari, Palupi?

30 Juli 2019   04:10 Diperbarui: 30 Juli 2019   10:18 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh, duduk di depan saja, Mbah." Si sopir mengiringi kami ke pintu sebelah kiri.

Kami sampai di pemakaman ketika mendung menggelayut di langit. Aku teringat sebuah halte. Hujan rintik-rintik. Dan kau datang menawarkan boncengan. Kau ingat waktu itu kita hampir tamat SMA? Kau sangat terlambat menyapa, membiarkan tiga tahun tersia. Kau dengan percaya diri mengatakan lebih baik terlambat atau tidak sama sekali. 

Waktu itu hujan mengajari kita tentang dingin dan basah. Kau mengantarkanku sampai di teras rumah. Ibu masih sempat berterima kasih kepadamu sambil tersenyum manis. Setelah kau lenyap di pengkolan jalan, ibu merepetiku habis-habisan.  Tentang demam dan flu. Aku memang tak bisa terkena hujan, karena langsung demam dan flu. Dan hasilnya aku mulai bersin-bersin. Ibu berhenti merepet. Dia bergegas ke dapur, serta menyuruhku lekas bersalin pakaian. 

Saat aku meringkuk di bawah selimut, ibu datang dengan secangkir wedang jahe dan semangkok sop hangat. Dia memijit-mijitku sesudah kenyang, sampai aku terlelap.

Ingat itu aku lebih sering menangis. Ingat kau, rasa rinduku mengarat.

Maya pergi ke ujung pemakaman, dimana suaminya terkubur. Sementara aku terpaku menatap kuburmu. Kau sangat tak terawat. Rumput ilalang alangkah tingginya! Sampah dedaunan alangkah joroknya! 

Apakah kau rindu padaku?

Hujan mencoba mengganggu kita. Aku dan Maya bergegas ke sebuah pondok.

"Lapar, ya?"

Maya mengangguk. Hujan semakin lebat. Aku dan Maya berpelukan menghalau dingin, hingga kami tertidur lelap.

Mungkin suster cemas mengetahui kami tak ada. Yakinlah, kami tak akan mengganggu kalian. Rang-ring telepon mengganggu anak-anak dan keluarganya, mengabarkan aku melarikan diri. Yakinlah, aku tak akan menyusahkan kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun