Sekian minggu berselang, aku telah melupakan perjumpaan dengan Say. Tapi suatu hari aku dikejutkan oleh cerita Sob bahwa dia sudah bertemu dengan ibunya. Aku tak tahu mau melakukan apa, marah, senang, atau apalah! Yang pasti aku melihat semburat kesenangan di manik mata anakku itu. Oh, Tuhan, apakah aku harus menelan kembali ludah yang telah tercampak di tanah?
Di hari berikutnya Sob malahan mengatakan keinginannya agar aku dan Say menikah saja. Masa lalu biarlah berlalu. Say sekarang bukanlah Say yang dulu. Sob yakin itu. Lagi pula mantan ibunya itu telah hidup melarat. "Apakah ayah tak kasihan?" tanya Sob menohok jantungku.
Aku bimbang. Aku memang ingin bersatu lagi dengan Say. Tapi bagaimana dengan tanggapan ibu, kakak dan sanak-saudaraku? Aku dan Sob bisa memaafkan kesalahan perempuan itu di masa lalu. Tapi belum tentu mereka. Bahkan ibu pernah mengatakan tak akan menganggapku anak bila masih menikahi Say.Â
Ya, akhirnya hingga sekarang aku tetap memilih menjadi single parent. Begitupun aku tetap membagi rejeki kepada Say dan anaknya. Aku juga tak pernah melarang mereka, bila sekali-sekali mengajak Sob berjalan-jalan entah ke mana. Atau pun menginap di rumah kontrakan mereka.Â
Mungkinkah di usia melebihi empat puluh, kami masih bisa bersatu lagi? Entahlah!
Kisah seseorang
kepada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H