Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kami Tak Mungkin Bersatu

24 Juli 2019   07:05 Diperbarui: 24 Juli 2019   07:29 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku menikah muda lebih duapuluh tahun lalu, dengan seorang perempuan cantik dan seksi. Aku berharap rumah tangga kami akan langgeng saat itu, apalagi perjalanan hidup kami selalu adem-ayem sampai kami memiliki anak berusia hampir lima tahunan. Tapi entah angin apa yang mengombang-ambing, tiba-tiba Say (nama samaran istriku) berpaling ke lain hati. Bukan karena faktor aku tak sanggup memberikan dia kepuasan harta, namun mutlak akibat dia terpancing oleh ketampanan dan tubuh seksi seorang lelaki. Dia menikah dengan lelaki itu, kemudian menelantarkanku bersama anak kami.

Setelah itu hidupku sedemikian terpuruk. Usaha turun-temurun keluarga yang diwariskan kepadaku, pun tak lagi fokus kukelola. Hari-hari kulalui dengan pikiran suntuk. Anakku juga lebih sering diasuh oleh ibu, dan sangat kurang kuperhatikan. Rokok dan kopi yang sekian lama kutinggalkan, kembali mengarungi diri ini. Belum lagi minuman keras, judi dan narkoba susul-menyusul. Seorang kakakku yang bekerja mapan di kota J, terpaksa berhenti. Dia tak ingin usaha turun-temurun keluarga kami yang dimulai mendiang kakek, hancur-lebur disebabkan aku bekerja tak fokus.

Tak bisa menetralisir pikiran dan perasaan, aku mencari ketenangan di kota B. Aku meninggalkan anakku berdua ibu. Tapi jangankan ketenangan yang didapat, aku malahan terjebak pergaulan tak benar. 

Aku memang sudah mulai tak benar di kota asalku. Hanya saja menyentuh dunia maksiat dengan perempuan maksiat, tak pernah kulakukan. Lain benar ketika di kota B, banyak sekali perempuan bening yang bisa digaet dengan mudah. Berulang-ulang aku berbuat mesum dengan mereka, sehingga sisa tabungan yang kubawa, lebih cepat habis. Keputusan terakhir, aku pulang kembali menemui ibu, anak dan kakakku. Aku mencoba menata kembali hidupku dengan kuliah di sebuah universitas swasta ternama (sebelumnya aku hanya tamatan SMA). Seluruh biaya ditanggung kakakku, termasuk biaya makan-minum, juga pendidikan anakku.

Alhamdulillah, setelah kuliah aku bisa menjalani hari-hari dengan tenang. Banyak sekali teman yang bisa diajak bertukar pikiran. Aku mulai sadar bahwa di luar sana masih banyak orang yang mengalami derita hidup lebih berat dariku. Kenapa aku sampai hancur-hancuran oleh perbuatan seorang perempuan tak benar?

Lima tahun kuliah kujalani dengan mantap. Kemudian aku bekerja di sebuah perusahaan besar di kota J. Ajakan kakakku untuk membantunya memperbesar usaha turun-temurun keluarga kami, pun kutampik halus. Aku ingin mencari suasana baru, sekalian mengajak anakku merasakan dunia lain. 

Setahun setelah bekerja dan menetap di kota J, mulailah berseliweran keinginan ibu, saudara dan kaum kerabat yang sering menghampiri telepon genggamku. Tentu tak ada niat selain memintaku mencari pendamping. Mereka berharap dengan beristri aku akan lebih tenang menjalani hidup.

Jujur, keinginan beristri kembali, sudah lama merasuki hati ini. Namun bagaimanalah menghapus kenangan lama. Aku trauma membayangkan kehadiran seorang perempuan dalam rumah tanggaku. Mungkin saja perempuan itu kelak bisa menjadi istri, sekaligus ibu yang baik. Tapi kalau dia sama saja dengan Say, aku toh akan terjerumus ke lobang yang sama. Trauma lebih parah pasti akan kualami, demikian pula anakku. Aku takut kelak anakku itu malahan trauma terhadap perempuan. Dalam pikirnya, perempuan itu mungkin tak benar semua. 

Saat mudik lebaran, kata-kata "menikahlah" semakin gencar memasuki liang telingaku. Bahkan ibu berubah seperti kantong sampah iklan, dengan menyodorkan anak si anu, cucu si ini, adik ipar si pulan. Begitu pula kakakku, dan kaum kerabat lain. Terpaksalah aku mengalaskan belum siap menikah lagi. Atau semua yang mereka tawarkan tak sesuai dengan keinginanku

Empat tahun berlalu, tiba-tiba seperti keajaiban, aku berjumpa dengan Say. Dia kelihatan sangat jauh berubah. Wajahnya yang dulu mulus, tampak keriput. Tubuhnya yang sintal, berubah kendur. Lebih parah lagi, dia tak pula memiliki suami. Suaminya telah meninggal dunia, dan dia tinggal berdua anaknya di pinggiran kota J.

Awalnya emosiku terlecut kepadanya. Ingin aku memaki lebih pedas dibanding dulu saat dia minggat dariku bersama mendiang suaminya. Tapi melihat kondisinya yang memprihatinkan, hatiku trenyuh juga. Dia menanyakan kabar anak kami, kujawab baik-baik saja. Sewaktu dia berniat ingin bertemu anak kami itu, aku lekas menolak. Belum tentu Sob (nama samaran anakku) bisa menerima kehadiran mantan ibunya. Bisa jadi Sob malahan mengata-ngatainya.

Sekian minggu berselang, aku telah melupakan perjumpaan dengan Say. Tapi suatu hari aku dikejutkan oleh cerita Sob bahwa dia sudah bertemu dengan ibunya. Aku tak tahu mau melakukan apa, marah, senang, atau apalah! Yang pasti aku melihat semburat kesenangan di manik mata anakku itu. Oh, Tuhan, apakah aku harus menelan kembali ludah yang telah tercampak di tanah?

Di hari berikutnya Sob malahan mengatakan keinginannya agar aku dan Say menikah saja. Masa lalu biarlah berlalu. Say sekarang bukanlah Say yang dulu. Sob yakin itu. Lagi pula mantan ibunya itu telah hidup melarat. "Apakah ayah tak kasihan?" tanya Sob menohok jantungku.

Aku bimbang. Aku memang ingin bersatu lagi dengan Say. Tapi bagaimana dengan tanggapan ibu, kakak dan sanak-saudaraku? Aku dan Sob bisa memaafkan kesalahan perempuan itu di masa lalu. Tapi belum tentu mereka. Bahkan ibu pernah mengatakan tak akan menganggapku anak bila masih menikahi Say. 

Ya, akhirnya hingga sekarang aku tetap memilih menjadi single parent. Begitupun aku tetap membagi rejeki kepada Say dan anaknya. Aku juga tak pernah melarang mereka, bila sekali-sekali mengajak Sob berjalan-jalan entah ke mana. Atau pun menginap di rumah kontrakan mereka. 

Mungkinkah di usia melebihi empat puluh, kami masih bisa bersatu lagi? Entahlah!

Kisah seseorang

kepada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun