"Ber apa, Mas." Saya cepat menyela.
"Hidung mancung." Dia menghembuskan napas lega. Saya memegang hidung. Makin panas hati saya. Kekurangan saya dari dulu memang pasal hidung, agak jauh dari rata-rata mancung.
Seorang lelaki sekonyong menyapa sambil lalu di sebelah Mas Anhar. Lelaki itu mengacungkan jempol tangan. Menatap saya dengan senyum ramah.Â
Segala hidangan pun merayu kami, dan menghalau lelaki itu. Saya sempat mendengar dia mempersilahkan kami makan.Â
Hati saya kesal karena belum berhasil menemukan Hamidah. Hati saya bertambah kesel melihat wajah Mas Anhar memerah kepedasan.Â
"Tak makan?" Saya menggeleng. Hampir jam satu. Pecel lele saya terpaksa dibungkus.Â
Amarah saya menggelegak. Â Selintas saja saya dan Mas Anhar bisa berdua, akan saya lalap dia.
***
Saya menunggunya dengan sabar di teras rumah Nah, itu kucing garong itu datang. Seolah tak memiliki salah, dia bersiul terus sambil duduk membuka sepatu.
"Manyun terus, kenapa?" Da mengucek-ngucek mata. Kemudian dia tersentak sambil menepuk dahi. "Masya Allah! Saya sampai lupa mengenalkanmu dengannya."
Saya hampir terpingkal guling-gulingan saat Mas Anhar menjelaskan jati diri Wan Hamidah. Kau masih ingat lelaki yang menyapa suami saya di warung pecel lele itu? Nah, sebenarnya dialah Wan Hamidah.Â