"Setan setengah kecil itu ke mana?" tanyaku kepada Amril yang sedang mencukur jambang di teras kos-kosan. Berulang-ulang sudah aku menggedor kamarku, tapi tak ada sahutan. Ke mana pula dia pergi? Padahal aku harus buru-buru menyalakan labtop dan menyelesaikan makalah untuk diserahkan kepada dosen besok pagi.
"Memang di sini ada setan?" Amril menjawab acuh tak acuh. Sesaat dia mengaduh. Silet melukai sedikit wajahnya. Setelah menyalahkanku, dia berhenti mencukur jambang. Dia kemudian merogoh saku celana, lalu menyerahkan kunci kamarku. "Ini kuncimu!"
Aku mengucapkan terima kasih. Dia tak membalas, selain ngeloyor ke kamarnya. Sementara itu bayang-bayang kapal pecah memenuhi batok kepalaku. Setan setengah kecil pasti tak bisa merapikan kamarku. Tak bisa!
Bunyi cklek terdengar saat pintu terbuka. Barulah mataku terbelalak. Benar-benar di luar dugaan. Kamarku sangat bersih. Tak ada barang-barang yang berjumpalitan. Mataku tambah terbelalak, manakala lemari es, laci meja, lemari pakaian, juga bersih. Artinya, bersih yang sebenar-sebenar bersih. Seluruh barangku lenyap. Apakah dimaling orang?
Kujeriti Amril yang seketika tergopoh memasuki kamarku. Masih ada sejumput busa sabun di kepalanya.
"Ada apa petang begini berubah seperti tarzan?" geramnya.
"Kenapa barang-barangku hilang? Kau yang memalingnya, ya?"
"Lho! Maling bagaimana? Bersyukur aku memberikan kunci kamar itu kepadamu. Tadi aku menemukannya masih tercolok di lobang kunci. Jangan sembarang menuduh! Sontoloyo!" Amril  lenyap dari hadapanku.
Sepuluh menit berselang, setan setengah kecil muncul dengan wajah memelas. Dia meminta maaf karena lupa membawa kunci kamarku. Dia meminta maaf belum sempat membersihkan seisi kamarku yang berantakan.
"Tak usah meminta maaf! Kamarku sudah benar-benar  bersih!" Gigiku bergemeretak.
"Wah, siapa yang berbaik hati membersihkannya?" Matanya berbinar. Wajah tak bersalahnya kembali menyeruak. Kemudian dia menuju kamarnya sembari melenggak-lenggok nakal.