“Nggak apa-apa, Mang. Santai saja, aku yang traktir.”
Kami berbincang ngalor-ngidol. Satu ngeloyor, satu di Kidul (nggak nyambung jek, ehem teringat Kidul Mbak Jora). Saat tekwan berada di hadapanku, terasa asap segar membuat laparku menggeliat. Aku mengambil saos, dan menyemprot tekwan. Tapi kok ada yang aneh. Kenapa kertasku berwarna darah.
Amangoi, ternyata Ni sedang tegak berkacang pinggang. “Jadi ini kerjaanmu di rental komputer?"
“Ini kan cuma cerita.”
“Cerita apaan! Kau sengaja, kau punya pacar, ya? Awas!” Ni menggulung lengan baju. Tubuh gempalnya semakin menyeramkan.
“Aku sebenarnya sangat tak bisa melupakanmu, Ni. Bahkan dalam cerita pendek ini saja, aku selalu membawa-bawa namamu; Sumarni. Tak tahukah betapa cinta aku kepadamu.” Lengan baju diturunkannya. Senyum malu dikecupkan ke ujung rambutku. Sementara aku buru-buru mengirim cerita pendek ini ke Kompasiana. Ceritanya seperti terpenggal karena Ni memutus inspirasiku.
Ni menggandeng tanganku. Sementara Sum, dan Marni yang duduk di dekat mamang rental, cekikikan sambil mengedipkan mata. Yang ini jangan cerita-cerita dengan Sumarni. Bisa-bisa aku hanya makan punggung terus nanti malam.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H