Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetangga-tetangga

13 Juli 2019   14:58 Diperbarui: 13 Juli 2019   15:03 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nggak usah pedes, Ni. Manis saja seperti orangnya," celetuk Julak. Seluruh warung tertawa. Mungkin kopi dan ubi di depanku turut tertawa.

Sum malu-malu kucing. Rona pipinya bersemu merah. Diam-diam dia melirik ke arahku. Meski tak muda lagi, sisa-sisa ketampananku masih ada. Ni pun mengerling. Terlihat kilat kebencian. Apakah dia cemburu?

"Mpok, Ni. Gorengan lima, ya!" Sum menerima kantong kresek dari tangan Ni. Gorengan itu ada di depan Julak. Pucuk dicinta ulam pun tuba. Aku merasakan angin surga dari bawah ketiaknya, ketika Sum mencoba meraih gorengan.

"Maaf ya, Om Jagat?" Sum malu-malu setelah gorengan berpindah ke kantong kresek. Sum kayaknya memang ada hati kepadaku. Harusnya minta maaf itu sebelum tangannya menjangkau gorengan. Bukan setelah gorengan berpindah tempat.

"Jangan om, Mbak Sum. Panggil saja; abang." Seluruh warung kembali tertawa. Mungkin ulekan di hadapan Ni ikutan tertawa. Kuihat si mpok itu seakan mendiamkan tawa ulekan dengan menggerusnya keras-keras. Seorang pembeli gado-gado sedang memburu pesanannya. Apakah Ni cemburu? Aku merasa bertambah tampan.

Khayal tentang Sum selalu mewarnai hari-hariku. Terbayang pagi-pagi dia menyiapkan sarapan nasi goreng spesial. Rambutnya selalu basah karena sisa bertempur tadi malam. Ada irama dangdut mengiringi lenggak- lenggok Sum. Ada semangat memacul hidup dalam dadaku.

Kehadiran Sum memberiku semangat kuda. Apa saja kulakukan asal bisa jadi uang. Rasanya tak rugi membelikan make up bagi wajah cantik. Membelikan pakaian baru bagi tubuh seksi.

"Mas!" Lamunanku buyar berganti wajah Ni yang lebar. Urusan gado-gado menjadi tuntutan. Ni menyorongkan uang dua puluh ribuan bakal beli kacang panjang. Agak kesal, kutatap Julak. Yang ditatap membuang wajah, sekalian membuang badan ke atas motor. Katanya, ada objekan. Motornya pun menderu menyisakan asap knalpot bau masem.

Di ujung gang kulihat Minah. Si betis Kendedes itu mungkin akan ke pasar. Dia keponakan Mpok Yem. Kabarnya dia akan kuliah di kota ini.

Terkadang aku bingung. Memilih Sum atau Minah. Sum berwajah cantik dan bertubuh seksi. Si hitam manis Minah memiliki betis kinclong Kendedes. Aduh Jagat, Jagat. Ingat umur.

Aku mempercepat langkah mengejar Minah. Setelah warung Ni tak kelihatan, aku mulai berani menyapa, "Mau ke mana, Neng?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun