Nama saya Rohman, orang sering memanggil Roh. Sebulan setelah dokter angkat tangan atas penyakit ayah, dia memanggil saya ke kamarnya. "Mencari penghidupan itu mudah, hanya memindahkan uang dari kantong orang ke kantong kita. Ayah mohon kau jaga ibu." Besok akhirnya dia menghembuskan napas terakhir.
Umur saya saat itu baru empat tahun. Dapat kau pahami betapa ucapan ayah sangat tak dapat saya cerna. Otak saya kecil. Perputaran hanya untuk bermain dan bermain. Sampai umur sembilan belas tahun, saya sama sekali belum pasti, apakah makna ucapan ayah di penghujung usianya itu. Saya hanya menerjemahkan "memindahkan uang dari kantong orang ke kantong kita" itu artinya mencopet. Dan itulah pekerjaan saya sekarang di Pasar 16 Ilir. Sesekali mencopet juga di bis kota.
Sejak bis Trans Musi beroperasi, lahan copet di bis kota semakin berkurang. Berbahaya mencopet di bis keren itu. Yang ada selain mendapat bogem dari penumpang, sudah pasti ubin penjara yang dingin akan bersorak menyambut saya. Trans Musi memiliki pintu otomatis yang tertutup. Dia hanya membuka ketika berhenti di halte. Dan kesempatan saya mencopet pasti amat kecil.
Saya biasa bekerja sama dengan awak bis kota. Tapi sekali lagi itu dulu. Jangan harap pula saya bisa merayu mereka agar prosesi mencopet aman terkendali. Awak Trans Musi tak berminat dengan pekerjaan ecek-ecek. Mereka awak bis kelas atas dan bergaji bulanan.
Oh, ya, sebelum lupa, saya perlu menjelaskan mengapa saya di panggil Roh. Mutlak karena saya beroperasi selalu sendiri. Saya ingin memutuskan sendiri tanpa celoteh orang lain, apakah saya harus mencopet seseorang atau tidak. Atau saya kasihan dan memberi bakal korban saya uang. Satu orang satu roh. Mustahil dalam tubuh ada dua roh, karena akan sulit mengaturnya.
Mengenai penghidupan saya, setiap orang tentu butuh peningkatan, atau kata orang-orang jenjang karier. Bukan berarti saya berpindah profesi menjadi pedagang sayur sambilan mencopet. Jujur, saya ingin merampok rumah. Sendirian!
Saya sudah memata-matai rumah gedong berwarna hijau bolu pandan itu selama sebulan. Tempatnya di ujung lorong, menempel dengan tembok pembatas. Sepertinya di situ retak tangan saya.
Jarak satu rumah dengan rumah lain hampir tiga ratus meter. Pasti tetangga tak akan mendengar jeritan korban sampai aku melenggang-kangkung membawa harta rampokan. Satu lagi saya beritahu. Penghuni rumah gedong itu sepasang senja. Orang tua yang rata-rata berusia di atas enam puluh tahun. Juga beberapa anak-anak kecil. Begitulah kira-kira. Setiap beroperasi, saya selalu membuat rencana sangat matang. Lima tahun mencopet, pantat saya baru sekali mencium dinginnya ubin penjara.
Salah saya terpedaya korban cantik dan seksi, sehingga saya berhasil ditangkap. Oleh suaminya beserta pengunjung pasar. Juga beberapa pencopet yang saya kenal. Pukulan dan tendangan yang paling keras, saya pastikan kawanan pencopet, sebab tercium dari napasnya bau Aibon. Satu lagi keteledoran saya. Ternyata suami korban seorang berpangkat di kepolisian. Jadilah hukuman yang saya terima---selain tahanan tentunya---juga tendangan dan sundutan rokok.
Mari kita kembali ke rencana awal. Sekarang saya sudah berada di halaman luas rumah gedong itu. Saya sudah menyiapkan sebatang linggis, juga pisau cap garpu yang sewaktu-waktu harus menyalak bila terdesak. Saya naik dari pohon belakang rumah gedong, lalu naik ke tembok pembatas. Naik pula lewat jendela tingkat dua. Saya dengan mudah mencongkel jendela. Hap, saya bisa melompat dengan aman ke lantai. Nyaris tanpa suara.
"Oh, ada tamu rupanya." Tiba-tiba ada suara menyentak nyali saya. Belum apa-apa, saya sudah tertangkap. Tentu kali ini saya akan lama merasakan ubin penjara. Saya melihat lelaki senja berdiri dari atas sajadah. Melipat, lalu meletakkannya ke sebuah rak. Dia mungkin baru selesai shalat malam. Saya perkirakan waktu itu pukul satu dini hari.