Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suamiku Sang Anak Ibu

9 Juli 2019   14:11 Diperbarui: 9 Juli 2019   15:34 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Berbilang tahun lalu aku mengenal Gon (nama samaran), lelaki yang sangat mengharubiru hatiku. Dia ibarat semburat mega ketika matahari senja bertahta di ufuk barat. Selalu indah dilihat. Selalu menimbulkan keromantisan yang syahdu. Maka, meskipun dia kelihatan malu-malu mengungkapkan rasa sukanya, aku telah menyediakan sebuah bilik dalam hati, tempat bersemyayam cintanya yang malu-malu.

Dia adalah seorang penyanjung perempuan. Katanya, perempuanlah yang melahirkan dan membesarkannya. Perempuan yang mengajarkannya kasih-sayang. Hingga baginya, perempuan adalah sosok yang perlu disanjung dan dihormati.

Aku selalu merasa terlindungi olehnya. Aku bangga karena dia sangat perduli kepada perempuan terutama ibunya. Tapi apakah sifatnya tersebut membuatku merasa nyaman?

Ternyata tidak! Berbulan setelah kami berjalan bersama, aku mulai merasa risih. Semua keputusannya selalu harus sepengetahuan sang  ibu. Seperti yang terjadi ketika aku mengajaknya menghadiri pesta pernikahan sepupuku di kota L. Rencana itu batal, dan aku sangat tak enak hati kepada sepupuku.

Memang kota L berjarak hampir tigaratus kilometer dari kota kami. Untuk itu kami harus menginap di sana semalam, tepatnya di rumah pamanku. Kondisi demikianlah yang membuat ibu Gon secara tegas tak mengijinkan Gon pergi denganku.

Kataku kala itu, "Kan Abang sudah dewasa! Seharusnya Abang harus menentukan sikap, mau begini, mau begitu. Jangan semua tergantung kepadanya."

"Aku tak ingin membuat Ibu kecewa."

Aku sangat kecewa. Namun kutahan-tahankan saja. Mungkin ibunya memiliki alasan sehingga tak mengijinkan Gon pergi menghadiri pesta pernikahan tersebut denganku. Aku dan Gon masih berstatus pacaran. Bila terjadi apa-apa, semisal kami tak bisa memendam asmara, maka yang terjadi adalah hubungan terlarang. Keluarga Gon pasti malu, terlebih-lebih keluargaku.

Kondisi berpacaran kami kemudian aman-aman saja. Namun suatu hari, ketika aku meminta dia menikahiku, Gon mulai ragu-ragu untuk menetapkan kapan acara lamar-lamaran, pernikahan dan pesta dilaksanakan. Dia harus berkonsultasi kepada ibunya agar semua berjalan sukses.

Ternyata malahan sebaliknya. Memang ibu Gon sangat setuju kami menikah secepatnya demi menghindari hal yang tak diinginkan, yakni aku hamil di luar nikah. Tetapi embel-embel di belakangnya membuatku sakit hati. Dia menetapkan hari dan tanggal lamar-lamaran di hari dan tanggal yang sama sepupuku menikah. Dia juga menetapkan hari dan tanggal pernikahan serta pesta-pesta, di saat sama ayahku harus menghadiri acara reuni teman-teman kuliahnya.

Aku mencoba mengajukan hari dan tanggal yang lebih baik. Nyatanya ibu Gon tak setuju. Dia besikeras dengan keputusannya. Hingga ketika aku bercerita kepada ayah dan ibuku, mereka hanya menggeleng-geleng saja. Ibuku malahan berkata demikian, "Belum menikah, kalian sudah dibawah pengaruh seorang ibu yang diktator. Bagaimana kelak kalau kau dan Gon sudah berumah tangga? Apakah segala masalah di dalam rumah tangga kalian harus diselesaikan oleh calon ibu mertuamu itu?"

Seketika aku tersentak. Ucapan ibuku ada benarnya juga. Namun tanggapan ayahku tentang adanya hak seorang ibu untuk memutuskan kapan anaknya melamar, menikah dan menyelenggarakan pesta,  membuatku maklum. Wajar saja, seorang ibu sangat kuat menggenggam kehidupan anak lelakinya, sebab begitu susah dia mengandung si anak selama sembilan bulan. Begitu berat usaha demi membesarkan si anak sampai dewasa, juga menghadapi kenakalan-kenakalannya yang membuat sakit kepala.

Acara pesta pernikahan dan segala yang mengawalinya, pun berjalan mulus. Tapi, berlanjut pula persoalan baru. Ibu Gon menyuruh Gon memboyongku ke rumah mereka. Aku menyabar-nyabarkan hati saja, apalagi alasan ibunya masuk di akal. Katanya, amat jarang seorang istri yang balik memboyong sang suami. Hanya saja ketika hampir dua minggu mondok di rumah ibu mertuaku, tetap saja aku berhasrat untuk menata hidup berdua Gon di rumah sendiri. Nyatanya, si ibu menolak mentah-mentah. Dia tak ingin berpisah dengan anak yang sangat disayanginya itu. Sementara si anak, seperti masa sebelumnya, tanpa membantah sedikit pun menuruti kehendak ibunya. 

Akhirnya aku harus mengalah. Aku tak boleh melawan kepada perempuan itu. Melawannya sama saja durhaka kepada ibuku sendiri. Aku berharap masa-masa selanjutnya berjalan harmonis.

Sayang sekali begitu banyak campur-tangannya dalam menyelesaikan persoalan rumah tanggaku. Misalnya, ketika aku ingin mengajak suami bertandang ke rumah orang tuaku selama sehari-dua, ibu Gon buru-buru menentukan hari dan tanggal yang bagus. Selebihnya dia tak mengijinkan kami lebih dari satu hari menginap di rumah orang tuaku.

Ketika aku masih berkeinginan menunda kehamilan, dia malahan selalu merong-rong agar kami cepat memiliki anak. Imbasnya kami disuruh berkonsultasi ke dokter kandungan. Disuruh meminum obat-obat kesuburan. Sampai akhrinya dia tersenyum senang sebab usahanya membuahkan hasil; aku positif hamil.

Begitulah hari-hari kulalui dengan perasan menderita. Gon selalu berada di bawah bayang-bayang ibunya. Terkadang aku berpikir, apakah aku sesungguhnya menikah dengan seorang lelaki bernama Gon atau ibunya? Perempuan itu sudah sangat keterlaluan! Aku hanya bagaikan anak bawang dalam keluargaku sendiri. Ide yang kulontarkan selalu mental, terbuang ke tong sampah. Gon selalu menurut ke mana saja seperti sapi dicocok hidung, seperti burung perkutut yang hanya bisa mengangguk-angguk.

Sampai sekarang semuanya tetap bejalan dengan irama menyakitkan. Ibu Gon bagaikan hakim pengadil yang memutuskan hukuman kepada seorang terdakwa bernama Irma (nama samaranku). Terkadang selintas ide gila melintasi benakku, bagaimana kalau aku memberikan dua pilihan kepada Gon, yakni lebih mendengar perkataanku dan kami tetap bersama, atau lebih menuruti kehendak ibunya dan kami bercerai. Tapi tetap saja ide itu membusuk di benak ini. Aku yakin Gon memilih lebih menuruti ibunya dan bercerai denganku.

Sedangkan aku, oh... Tuhan, aku tak ingin keluargaku kacau-balau kalau harus bercerai dengan Gon. Maka sampai sekarang aku hanya berdoa, semoga si ibu menyadari bahwa apa yang dia lakukan kepadaku dan suami sama sekali tak benar.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun