Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suamiku Sang Anak Ibu

9 Juli 2019   14:11 Diperbarui: 9 Juli 2019   15:34 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Seketika aku tersentak. Ucapan ibuku ada benarnya juga. Namun tanggapan ayahku tentang adanya hak seorang ibu untuk memutuskan kapan anaknya melamar, menikah dan menyelenggarakan pesta,  membuatku maklum. Wajar saja, seorang ibu sangat kuat menggenggam kehidupan anak lelakinya, sebab begitu susah dia mengandung si anak selama sembilan bulan. Begitu berat usaha demi membesarkan si anak sampai dewasa, juga menghadapi kenakalan-kenakalannya yang membuat sakit kepala.

Acara pesta pernikahan dan segala yang mengawalinya, pun berjalan mulus. Tapi, berlanjut pula persoalan baru. Ibu Gon menyuruh Gon memboyongku ke rumah mereka. Aku menyabar-nyabarkan hati saja, apalagi alasan ibunya masuk di akal. Katanya, amat jarang seorang istri yang balik memboyong sang suami. Hanya saja ketika hampir dua minggu mondok di rumah ibu mertuaku, tetap saja aku berhasrat untuk menata hidup berdua Gon di rumah sendiri. Nyatanya, si ibu menolak mentah-mentah. Dia tak ingin berpisah dengan anak yang sangat disayanginya itu. Sementara si anak, seperti masa sebelumnya, tanpa membantah sedikit pun menuruti kehendak ibunya. 

Akhirnya aku harus mengalah. Aku tak boleh melawan kepada perempuan itu. Melawannya sama saja durhaka kepada ibuku sendiri. Aku berharap masa-masa selanjutnya berjalan harmonis.

Sayang sekali begitu banyak campur-tangannya dalam menyelesaikan persoalan rumah tanggaku. Misalnya, ketika aku ingin mengajak suami bertandang ke rumah orang tuaku selama sehari-dua, ibu Gon buru-buru menentukan hari dan tanggal yang bagus. Selebihnya dia tak mengijinkan kami lebih dari satu hari menginap di rumah orang tuaku.

Ketika aku masih berkeinginan menunda kehamilan, dia malahan selalu merong-rong agar kami cepat memiliki anak. Imbasnya kami disuruh berkonsultasi ke dokter kandungan. Disuruh meminum obat-obat kesuburan. Sampai akhrinya dia tersenyum senang sebab usahanya membuahkan hasil; aku positif hamil.

Begitulah hari-hari kulalui dengan perasan menderita. Gon selalu berada di bawah bayang-bayang ibunya. Terkadang aku berpikir, apakah aku sesungguhnya menikah dengan seorang lelaki bernama Gon atau ibunya? Perempuan itu sudah sangat keterlaluan! Aku hanya bagaikan anak bawang dalam keluargaku sendiri. Ide yang kulontarkan selalu mental, terbuang ke tong sampah. Gon selalu menurut ke mana saja seperti sapi dicocok hidung, seperti burung perkutut yang hanya bisa mengangguk-angguk.

Sampai sekarang semuanya tetap bejalan dengan irama menyakitkan. Ibu Gon bagaikan hakim pengadil yang memutuskan hukuman kepada seorang terdakwa bernama Irma (nama samaranku). Terkadang selintas ide gila melintasi benakku, bagaimana kalau aku memberikan dua pilihan kepada Gon, yakni lebih mendengar perkataanku dan kami tetap bersama, atau lebih menuruti kehendak ibunya dan kami bercerai. Tapi tetap saja ide itu membusuk di benak ini. Aku yakin Gon memilih lebih menuruti ibunya dan bercerai denganku.

Sedangkan aku, oh... Tuhan, aku tak ingin keluargaku kacau-balau kalau harus bercerai dengan Gon. Maka sampai sekarang aku hanya berdoa, semoga si ibu menyadari bahwa apa yang dia lakukan kepadaku dan suami sama sekali tak benar.

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun