Mbak Mo seperti mempunyai ritual khusus saat menyambut kedatangan kunang-kunang. Kunang-kunang yang membawa lampu itu adalah pejantan. Mereka sedang menggoda para betina. Mereka pasti tak suka perempuan busuk dan jorok, maka Mbak Mo selalu tambah cantik saat menunggu kunang-kunang.Â
Apakah di antara binatang kelap-kelip itu ada pejantan pasangan Mbak Mo? Â Aku kadang merajuk. Dia pasti menjewerku. Menempelkan punggung tangan di keningku.
"Khayalanmu terlalu tinggi, Yon!"
Aku sering ingin menjadi kunang-kunang. Terbang mengitari Mbak Mo. Dia pasti tak akan menangkapku. Kunang-kunang hanya untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk dimiliki.Â
Padahal aku ingin dimiliki Mbak Mo. Selamanya. Ah, terkadang otak kecil ini suka nakal, ya? Meski tak binal, otak kecil ini sering jatuh cinta bukan pada waktu yang tepat.
"Jangan lagi kau main kunang-kunang, Yon!" tegur Mak suatu hari.
"Kenapa?"
"Karena mereka kuku setan!"Â
Aku terkejut. Kunang-kunang itu kuku setan? Aku membayangkan para setan tengah berkumpul santai di tengah hutan. Mereka berbincang sambil memotong kuku. Kuku yang jatuh ke tanah itu tiba-tiba bisa hidup dan terbang menjadi kunang-kunang. Ah, apakah seperti itu?
Aku menanyakan masalah kuku setan itu kepada Mbak Mo ketika kami sedang menunggu kunang-kunang. Hasilnya dapat kau tebak. Mbak Mo marah. Binatang kesayangannya itu tega kuhina. Dia benci aku. Dia berjanji tak akan menunggu kunang-kunang bersamaku.Â
Malam Minggu berikutnya  aku menunggu kunang-kunang tanpa Mbak Mo. Tapi hasilnya aku tertidur sehingga Mak menjewerku, mengajak pulang. Begitu pula malam Minggu-malam Minggu selanjutnya. Aku tak lagi melihat kunang-kunang.Â