Ketika aku kecil, aku sering mengkhayal bisa terbang tinggi, berkedap-kedip menjadi penunjuk jalan bagi peladang yang terkadang pulang  gelap. Aku bersama Mbak Mo sering bersembunyi di rumahan karton di semak belakang rumah. Di sini amat tenang.Â
Angin dingin terbentang dari Utara ke Selatan. Kami bisa menjemur kegerahan di atasnya. Tapi jangan pernah bilang kepada siapa-siapa. Terutama Mak dan Bapak. Mereka akan marah besar kalau ketahuan kami berada di sini.Â
Kami biasa tidur terlentang menatap langit. Menghitung jejeran bintang, satu demi satu. Kau pasti terkekeh. Kami tak akan pernah bisa menghitungnya.Â
Selalu memulai dari awal. Mengulang lagi, mengulang lagi. Dan sampai kapan pun kami tak bisa menghitungnya. Sampai air mata mengambang. Sampai pandangan nanar.
"Mereka datang!" Mbak Mo langsung bangkit, dan buru-buru memeluk lutut. Aku bersandar di bahunya. Tercium harum rambut Mbak  Mo. Dari jajaran pohon randu, cahaya kelap-kelip itu datang, satu demi satu.Â
Mereka sengaja ingin menyaingi keindahan bintang. Ya, mereka para kunang-kunang di rumpun teki belakang rumah. Tak seperti menghitung bintang, kami seakan bisa menghitung kunang-kunang. Â Kendati "seakan" itu tetap "seakan". Kamu tak dapat menghitung mereka. Ada yang pulang, ada yang datang. Bahkan ada yang nakal mematikan lampunya. Mungkin agar teman-temannya bisa berbenturan kali, ya?
Aku membayangkan mereka tinggal di gua-gua tersembunyi. Mereka memiliki simpanan lampu yang amat besar. Mungkin karena mereka dipinjami matahari. Oh, bukan! Bukan dipinjami matahari. Dia terlalui panas, dan pasti akan membakar rumpun teki. Mereka dipinjami bulan yang lembut.Â
Lihatlah, aku bisa menangkapnya. Memasukkan seekor kunang-kunang ke dalam kotak korek api. Tapi dia cepat-cepat memadamkan lampu. Kuguncang-guncang kotak korek api, tetap saja lampunya ngambek. Sehingga telingaku sebelah kiri akan diguncang-guncang Mbak Mo.Â
Dia menjewerku sehingga terampun-ampun. Kata Mbak Mo, kunang-kunang hanya untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk dimiliki. Seperti halnya aku tak bisa memiliki Mbak Mo? Â
Mbak Mo kembali menjewerku. Kecil-kecil aku sudah nakal. Mbak Mo lebih tua tiga tahun dariku. Dia tetangga sebelah rumahku. Kami selalu bertemu di sini hampir setiap malam Minggu. Membawa kudapan yang renyah-renyah dan minuman teh hangat. Kami  tetap bisa menghilang dari rumah selepas isya.Â
Jam sepuluh malam kami baru pulang ke rumah, setelah orang tua kami menggamangkan sapu lidi yang urung dihempaskan ke ujung betis. Entah apa selanjutnya yang terjadi pada Mbak Mo. Berhari-hari kami tak lagi bersua. Tapi tetap saja di malam Minggu buta, aku sudah pasti bisa menemukannya di belakang rumah di bawah rumahan karton. Dia sudah mandi, rapi berdandan dan wangi shampo.Â
Mbak Mo seperti mempunyai ritual khusus saat menyambut kedatangan kunang-kunang. Kunang-kunang yang membawa lampu itu adalah pejantan. Mereka sedang menggoda para betina. Mereka pasti tak suka perempuan busuk dan jorok, maka Mbak Mo selalu tambah cantik saat menunggu kunang-kunang.Â
Apakah di antara binatang kelap-kelip itu ada pejantan pasangan Mbak Mo? Â Aku kadang merajuk. Dia pasti menjewerku. Menempelkan punggung tangan di keningku.
"Khayalanmu terlalu tinggi, Yon!"
Aku sering ingin menjadi kunang-kunang. Terbang mengitari Mbak Mo. Dia pasti tak akan menangkapku. Kunang-kunang hanya untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk dimiliki.Â
Padahal aku ingin dimiliki Mbak Mo. Selamanya. Ah, terkadang otak kecil ini suka nakal, ya? Meski tak binal, otak kecil ini sering jatuh cinta bukan pada waktu yang tepat.
"Jangan lagi kau main kunang-kunang, Yon!" tegur Mak suatu hari.
"Kenapa?"
"Karena mereka kuku setan!"Â
Aku terkejut. Kunang-kunang itu kuku setan? Aku membayangkan para setan tengah berkumpul santai di tengah hutan. Mereka berbincang sambil memotong kuku. Kuku yang jatuh ke tanah itu tiba-tiba bisa hidup dan terbang menjadi kunang-kunang. Ah, apakah seperti itu?
Aku menanyakan masalah kuku setan itu kepada Mbak Mo ketika kami sedang menunggu kunang-kunang. Hasilnya dapat kau tebak. Mbak Mo marah. Binatang kesayangannya itu tega kuhina. Dia benci aku. Dia berjanji tak akan menunggu kunang-kunang bersamaku.Â
Malam Minggu berikutnya  aku menunggu kunang-kunang tanpa Mbak Mo. Tapi hasilnya aku tertidur sehingga Mak menjewerku, mengajak pulang. Begitu pula malam Minggu-malam Minggu selanjutnya. Aku tak lagi melihat kunang-kunang.Â
Apakah karena aku ini pejantan? Sampai sekarang aku tak  pernah lagi  melihat  kunang-kunang, karena sudah tinggal di kota besar, dan aku tak memiliki kampung lagi, karena rumahku telah dijual, juga kunang-kunang.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H