Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kembali dari Hidup Penuh Dosa

3 Juli 2019   23:02 Diperbarui: 3 Juli 2019   23:09 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi.: pixabay

Tahun 2007. Aku terlonjak kesenangan ketika melihat namaku tertera di koran, yang menyatakan aku lulus menjadi salah seorang karyawan di perusahaan perkebunan PN. Bagaimana tidak, sebagai pelamar yang baru tamat kuliah, aku sanggup menyingkirkan pesaing-pesaing yang pasti melebihi diriku, baik dari faktor usia maupun pengalaman. Orangtuaku turut senang, sehingga sempat diadakan acara selamatan demi mensyukuri nikmat yang kudapatkan.

Aku langsung ditempatkan sebagai karyawan lapangan di daerah pedalaman MB. Daerah gersang. Padang ilalang membentang sejauh mata memandang. Hanya ada satu-dua batang meranggas. Dalam benakku menggeliat, sanggupkah kami menjadikan daerah tersebut menjadi lahan perkebunan subur? Tapi teman-teman sesama karyawan adalah orang-orang  tangguh. Tak ada pekerjaan sulit selain diselesaikan dengan semangat membaja sampai tuntas.

Namun satu hal yang mulai mencemaskanku. Daerah itu minus air. Aku kesulitan mengambil air wuduk. Tak seperti teman-teman yang rata-rata kurang memperdulikan shalat, menganggap persoalan air wuduk sepele, kecuali tentu gelisah akan pasokan air minum, mandi, cuci serta kakus. Sebagai alternatif, maka aku lebih sering bertayamum saja. Ya, apa mau dikata. Hidup memang harus dilakoni dengan keras. Siapa yang tak tahan terhadap setiap gempuran, maka akan tersisih dan kalah.

Beberapa hari menetap di daerah itu, memang tak mengalpakanku menjalankan perintah shalat. Hanya saja ketika pekerjaan datang bertubi-tubi, lambat-laun aku mulai tak mengerjakan shalat zuhur misalnya, kemudian ashar. Entah kenapa aku menjadi begitu. Padahal kalau dipikir-pikir, bagaimana pun pekerjaan datang bertubi-tubi, toh masih ada kesempatan untuk shalat. Lagi pula kalau aku meminta ijin kepada atasan untuk bershalat barang lima menit, pasti diperbolehkan. Siapa toh yang berani melarang orang melaksanakan ibadah? Tapi itulah yang  terjadi. Melihat teman-teman yang selalu tak melaksanakan shalat, membuatku terpengaruh. Dari shalat zuhur dan ashar, menyusul maghrib, isya dan shubuh yang tanggal dari keseharianku.

Suatu kali aku bertelepon kepada kedua orangtuaku saat ada kesempatan berkunjung ke ibukota kabupaten. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut mereka adalah, apakah aku tetap rajin melaksanakan shalat. Seketika wajahku panas. Aku gugup mau menjawab apa. Namun dengan berani aku berdusta, tetap melaksanakan shalat secara rutin. Kata mereka, "Nak, semua kenikmatan di dunia ini tak akan ada artinya jika kau meninggalkan shalat!"

Hatiku berdesir. Hanya sebatas berdesir. Sebab ketika kembali ke pekerjaanku, semua kembali terlupa. Pekerjaan yang menumpuklah penyebabnya. Kondisi di lapangan menambahi. 

Begitulah, aku akhirnnya sama sekali tak ngeh melaksanakan shalat. Padahal sebelum menjadi karyawan perkebunan, jangankan shalat lima waktu, mengaji Qur'an selalu rutin kulaksanakan. Selain karena lingkungan keluargaku sangat agamis, riwayat pendidikanku juga berkaitan erat dengan Islam. Aku sekolah ibtidaiyah, tsanawiyah, kemudian aliyah. Namun setamat aliyah, aku jatuh cinta ke pelajaran tumbuh-tumbuhan. Itulah yang membuatku nekad melanjutkan kuliah di fakultas pertanian di universitas ternama di kota M.

Hampir empat bulan bekerja di daerah tersebut, tiba pula masa ramadhan.  Aku mulai resah, bagaimana caranya aku menjalankan ibadah puasa. Sepertinya lingkungan kerjaku tak mendukung. Namun kukuat-kuatkan juga hati. Aku mencoba makan sahur di hari pertama puasa berbekal semangkok mie rebus. Teman-teman tak ada yang menuruti tingkahlakuku. Mereka lebih memilih meninggikan selimut dan tidur nyenyak.

Hasilnya, saat pagi menjelang, betapa susah aku menjalankan ibadah puasa. Teman-teman sarapan dengan sangat menggoda. Berbas-bus rokok menciptakan aroma nikmat di hidungku. Seorang-dua menanyakan kenapa aku tak ikut sarapan, lalu kujawab aku sedang puasa. Mereka tertawa. Menurut mereka, pekerja keras seperti kami dibolehkan tak berpuasa. Aku menanggapinya dengan desahan.

Hari pertama puasa terlewati. Hari kedua, imanku goyah. Akulah satu-satunya yang berpuasa di antara teman-temanku. Beberapa mengatakan aku tak solider, meski seusungguhnya merekalah yang tak solider. Dengan berat hati kuputuskan untuk tak berpuasa. Udara sangat cerah. Matahari panas menyengat. Sedangkan pekerjaan masih melulu berpanas. Aku berharap hanya sehari itu saja tak berpuasa. Kenyataannya, di hari-hari berikutnya aku tetap tak berpuasa. Mudah-mudahan Allah mengampuni. Aku berjanji akan menggenati puasaku di hari lain.

Kesibukan bekerja, serta pengaruh teman-teman yang memang sangat jauh dari kesan agamis, membuat diri ini semakin bejad. Tingkahku tak lagi lemah-lembut. Terkesan kasar. Senang marah, dan pikiran selalu suntuk. Untung saja ajakan teman-teman bersantai sebentar di ibukota kabupaten selalu dapat kutolak. Karena aku tahu maksud santai itu, tak lain tak bukan sekadar mencicip penghuni rumah-rumah bordil yang tumbuh subur di sana. Bukannya aku tak tertarik ingin mencicip juga. Melainkan aku takut terjangkit penyakit kelamin seperti yang pernah dialami oleh teman kuliahku. Temanku itu akhirnya meninggal karena penyakit tersebut telah menggerogoti organ-organ vitalnya.

Dua bulan ramadan terlewati setelah aku bekerja di perusahaan perkebunan itu. Dua kali pertemuan dengan kedua orangtuaku kuhabiskan dengan penuh kedustaan. Saat mereka menanyakan apakah puasaku penuh, kukatakan penuh. Saat mereka menanyakan apakah shalatku bolong-bolong, kukatakan tidak. Akan tetapi, aku merasa ada yang tercerabut dari jiwa ini. Rasa bahagiaku tak plong, meski persoalan uang bukanlah hal yang memusingkanku. 

Dalam kondisi demikian, aku bertemu Irwan (nama samaran temanku) saat aku di ibukota kabupaten MB. Dia takjub melihatku karena telah menjadi orang sukses. Padahal sesungguhnya akulah yang mesti takjub. Dia telah menjadi guru di sebuah sekolah aliyah di MB. Dari wajahnya terpancar sinar cerah. Dia sempat bertanya tentang ilmu-ilmu yang pernah kuperolah selama sekolah dari ibditadiayah, tsanawiyah hingga aliyah. Apakah kuterapkan dalam keseharianku?

Aku terkesiap. Tapi kujawab saja bahwa aku masih menerapkan semua ilmu yang kudapatkan dalam keseharianku. Sementara ketika kembali dengan rutinitas pekerjaan, hatiku makin risau. Aku merasa telah melakukan dosa yang saling timpa-menimpa. Aku bertambah jauh dari Allah. Apakah sebaiknya aku berhenti saja bekerja di perusahaan perkebunan besar itu demi menyelamatkan keimananku?

Pilihan terbaik ada pada diriku sendiri. Beruntunglah dalam kebimbangan, aku dipindahtugaskan ke kantor pusat yang memang tak berjauhan dengan rumah orangtuaku. Aku sangat bahagia. Aku kembali menjalankan ibadah lebih dan lebih rutin. Dan ketika ramadhan tiba seperti sekarang ini, hari-hari kulewati dengan hati yang suci. Terima kasih atas rahmat-Mu ya, Allah.

-----

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun