Dua bulan ramadan terlewati setelah aku bekerja di perusahaan perkebunan itu. Dua kali pertemuan dengan kedua orangtuaku kuhabiskan dengan penuh kedustaan. Saat mereka menanyakan apakah puasaku penuh, kukatakan penuh. Saat mereka menanyakan apakah shalatku bolong-bolong, kukatakan tidak. Akan tetapi, aku merasa ada yang tercerabut dari jiwa ini. Rasa bahagiaku tak plong, meski persoalan uang bukanlah hal yang memusingkanku.Â
Dalam kondisi demikian, aku bertemu Irwan (nama samaran temanku) saat aku di ibukota kabupaten MB. Dia takjub melihatku karena telah menjadi orang sukses. Padahal sesungguhnya akulah yang mesti takjub. Dia telah menjadi guru di sebuah sekolah aliyah di MB. Dari wajahnya terpancar sinar cerah. Dia sempat bertanya tentang ilmu-ilmu yang pernah kuperolah selama sekolah dari ibditadiayah, tsanawiyah hingga aliyah. Apakah kuterapkan dalam keseharianku?
Aku terkesiap. Tapi kujawab saja bahwa aku masih menerapkan semua ilmu yang kudapatkan dalam keseharianku. Sementara ketika kembali dengan rutinitas pekerjaan, hatiku makin risau. Aku merasa telah melakukan dosa yang saling timpa-menimpa. Aku bertambah jauh dari Allah. Apakah sebaiknya aku berhenti saja bekerja di perusahaan perkebunan besar itu demi menyelamatkan keimananku?
Pilihan terbaik ada pada diriku sendiri. Beruntunglah dalam kebimbangan, aku dipindahtugaskan ke kantor pusat yang memang tak berjauhan dengan rumah orangtuaku. Aku sangat bahagia. Aku kembali menjalankan ibadah lebih dan lebih rutin. Dan ketika ramadhan tiba seperti sekarang ini, hari-hari kulewati dengan hati yang suci. Terima kasih atas rahmat-Mu ya, Allah.
-----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H