Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jangkrik

27 Juni 2019   08:43 Diperbarui: 27 Juni 2019   09:15 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah kenapa ada jangkrik di kamar. Krik, krik, krik. Bunyinya membuat bising. Kunyalakan lampu. Hampir pukul tiga dini hari. Aku mencari asal suara itu di bawah kolong tempat tidur. Sampai mataku lamur, tetap tak ada. Suara itu sekarang hilang. Aku mematikan lampu, dan kembali tidur.

Jangkrik itu lagi berbunyi. Krik, krik, krik. Sangat dekat dengan telingaku. Aku kembali menyalakan lampu. Tak sadar kakiku menendang kaki meja. Gelas yang ada di atasnya membunuh kesunyian dini hari. Bakri membuka matanya separoh.

"Ada apa, sih?" Dia berbalik memunggungiku.

"Jangkrik!"

"Ah, kau hanya bermimpi."

"Beneran!"

"Mana?"

Hening. Suara jangkrik itu hilang sama sekali. Bakri sengaja duduk sambil memeluk kedua belah lutut. Kami menunggu hingga seperempat jam, tak ada hasil. Bakri menepiskan angin. Rebahan, dan menutup seluruh tubuh dengan selimut. Dia menjeritkan lampu, menyuruh aku mematikan cahaya menyilaukan itu.

Perlahan aku mematikannya, lalu berjalan menuju jendela. Aku seperti melihat seorang anak di situ. Seorang lagi. Seorang lagi. Mereka lima orang. Membawa ransum masing-masing. Tikar digelar. Mereka duduk melingkar. Seorang anak melongok ke rantang temannya.

"Lauk apa?" 

"Ayam panggang."

"Kau?"

"Lele goreng."

"Kau?"

"Telor sambal."

Kelima anak itu saling berganti lauk. Lalu mulut-mulut mungil itu bercap-cuplah. Lalu perut-perut kecil itu buncitlah. Selepas itu mereka mencari jangkrik. Mereka memainkannya sambil tertawa. Memasukkan ke dalam kotak korek api. Mengguncang-guncangnya sambil tertawa. Setelah itu mereka mencari ikan di rawa. Banyak ikan gabus di situ. Pastinya tak ada ikan gabus yang berhasil ditangkap, kecuali pakaian dan tubuh berlumpur. Meskipun hasilnya beroleh jeweran ibu, tetap saja anak-anak itu melakukannya besok, dan besoknya lagi.

Anak-anak kecik itu hilang setelah Bakri terbatuk. Ah, mereka adalah masa laluku, Bakri, Usuf, Afik dan Ifin. Akankah tempat kami bermain itu menjadi cerita masa lalu? Seluruh kota telah tertutup gedung. Tak ada lagi kesempatan tanah bebas bernapas. Tempat yang dikelilingi rawa-rawa itu menjadi tonggak terakhir keasrian alam. Apakah dia juga akan dihapus dari peta? Hatiku merintih.

Aku rebahan. Saat aku tertidur, Bakri menjerat-jerit. Lampu kamar menyala. Orang-orang masuk ke kamar sambil membawa barang yang bisa dipukulkan. Aku mendengar suara jangkrik yang amat dekat. Di mana dia? Aku mencarinya di kolong tempat tidur. Suara jangkrik semakin dekat ke mulutku. Ke mulutku? Aku gelagapan. Sekujur tubuhku telah berubah menjadi jangkrik. Aku menjerit, "Krik, krik, krik!"

Seseorang mengguncang tubuhku. "Bangun, Im! Sudah pagi."

Aku mengucek mata. Tenyata hanya mimpi. Bakri sudah rapi, siap bekerja. Aku berjalan ke arah kamar mandi. Tapi, kemudian lebih memilih memasukkan pakaian ke dalam tas. Bakri bertanya macam-macam, aku membisu. Bertanya lagi, tetap membisu. Ketika merasa semua sudah lengkap, aku menjawab. "Setidaknya tanganku tak ikut dikotori untuk menghancurkan tonggak terakhir itu. Aku tak ingin rawa-rawa hilang. Aku behenti!"

"Siapa yang mengoperasikan bulldozer?" Aku pura-pura tak mendengar. Aku bergegas menuju kantor utama, menyerahkan kunci kontak kepada petugas. Ada pertanyaan heran. Aku tak lagi mendengar, meski dia mencak-mencak.

Dua tahun, aku melihat bangunan tinggi itu telah berdiri angkuh. Aku mengeleng lesu. Istri berteriak agar aku melanjutkan menimba air. "Iya, iya!" ucapku. Hari ini adalah hari pertama bersih-bersih rumah, setelah seminggu kami mengungsi karena banjir. Jangkrik!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun