"Kau?"
"Lele goreng."
"Kau?"
"Telor sambal."
Kelima anak itu saling berganti lauk. Lalu mulut-mulut mungil itu bercap-cuplah. Lalu perut-perut kecil itu buncitlah. Selepas itu mereka mencari jangkrik. Mereka memainkannya sambil tertawa. Memasukkan ke dalam kotak korek api. Mengguncang-guncangnya sambil tertawa. Setelah itu mereka mencari ikan di rawa. Banyak ikan gabus di situ. Pastinya tak ada ikan gabus yang berhasil ditangkap, kecuali pakaian dan tubuh berlumpur. Meskipun hasilnya beroleh jeweran ibu, tetap saja anak-anak itu melakukannya besok, dan besoknya lagi.
Anak-anak kecik itu hilang setelah Bakri terbatuk. Ah, mereka adalah masa laluku, Bakri, Usuf, Afik dan Ifin. Akankah tempat kami bermain itu menjadi cerita masa lalu? Seluruh kota telah tertutup gedung. Tak ada lagi kesempatan tanah bebas bernapas. Tempat yang dikelilingi rawa-rawa itu menjadi tonggak terakhir keasrian alam. Apakah dia juga akan dihapus dari peta? Hatiku merintih.
Aku rebahan. Saat aku tertidur, Bakri menjerat-jerit. Lampu kamar menyala. Orang-orang masuk ke kamar sambil membawa barang yang bisa dipukulkan. Aku mendengar suara jangkrik yang amat dekat. Di mana dia? Aku mencarinya di kolong tempat tidur. Suara jangkrik semakin dekat ke mulutku. Ke mulutku? Aku gelagapan. Sekujur tubuhku telah berubah menjadi jangkrik. Aku menjerit, "Krik, krik, krik!"
Seseorang mengguncang tubuhku. "Bangun, Im! Sudah pagi."
Aku mengucek mata. Tenyata hanya mimpi. Bakri sudah rapi, siap bekerja. Aku berjalan ke arah kamar mandi. Tapi, kemudian lebih memilih memasukkan pakaian ke dalam tas. Bakri bertanya macam-macam, aku membisu. Bertanya lagi, tetap membisu. Ketika merasa semua sudah lengkap, aku menjawab. "Setidaknya tanganku tak ikut dikotori untuk menghancurkan tonggak terakhir itu. Aku tak ingin rawa-rawa hilang. Aku behenti!"
"Siapa yang mengoperasikan bulldozer?" Aku pura-pura tak mendengar. Aku bergegas menuju kantor utama, menyerahkan kunci kontak kepada petugas. Ada pertanyaan heran. Aku tak lagi mendengar, meski dia mencak-mencak.
Dua tahun, aku melihat bangunan tinggi itu telah berdiri angkuh. Aku mengeleng lesu. Istri berteriak agar aku melanjutkan menimba air. "Iya, iya!" ucapku. Hari ini adalah hari pertama bersih-bersih rumah, setelah seminggu kami mengungsi karena banjir. Jangkrik!