Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Frang Barat Si Joki Mamak Beruk

21 Juni 2019   15:00 Diperbarui: 21 Juni 2019   16:06 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku mengenalnya dari cerita tetua saat singgah di kampung dalam Pariaman. Namanya Frang Barat, ibu Jepang, bapak Sumatera Barat. Entah apa sebabnya dia terdampar di dusun itu, aku juga tak menemukan benang merah. Tapi dari ujung Barat ke Timur orang sangat mengenalnya  sebagai si joki mamak beruk.

Pagi sekali saat matahari masih malu-malu di ufuk Timur, dia sudah mengayuh sepeda kumbang dengan semangat. Mansi si beruk berada di boncengan. Sesekali mereka diajak singgah oleh warga. Duduk sebentar menyesap kopi, dan merasakan hangat pada juadah ubi bakar. Mansi seperti biasa beroleh pisang sesisir, hingga temboloknya bunting. Dari jaman nenek-moyangnya, Mansi sudah tahu program menabung. Mungkin dari merekalah orang menemukan ide membuat perbankan, aku sendiri tak tahu.

Biasanya setelah prosesi bersantap sejam-dua, mereka melanjutkan mengambil kelapa. Entah muasal darimana pula,  seluruh anggota PPB alias Paguyuban Pengusaha Beruk, tak terkecuali Frang, kalau menakhodai sang beruk, mestilah memakai Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Minang totok. "Ambil yang masak" kalau ingin  beruk mengambil kelapa yang masak. "Ambil yang muda" kalau ingin beruk mengambil dogan. "Seberang dan turun" jika ingin si  beruk menyeberang ke kelapa berikutnya, atau turun dari pohon kelapa pertanda pekerjaan selesai dan melanjutkan ke pohon-pohon kelapa selanjutnya atau pulang.

Mungkin karena kutukan pengusaha beruk, rata-rata mereka berpantangan memanjat kelapa. Entah apa sebabnya. Tapi tak usah kau pikirkan itu, biarlah menjadi rahasia cerita.

Aku ingin menceritakan bahwa selain pengusaha beruk, Frang juga jago melawak. Ya, tentu saja dengan tubuhnya yang bulat ibarat bola, dan leher  gemuk-pendek karena dililit lemak. Seumur-umur, belum pernah dia terlihat cemberut. Entah dia sedang susah atau senang, itu juga menjadi rahasia.

Ada satu yang aneh pada diri Frang. Menginjak usia empat puluh tahun, dia belum sekalipun ditemukan berkawan dengan perempuan. Apalagi yang namanya menikah, jauh panggang dari api. Padahal rata-rata orang di kampung itu, menikah antara umur dua puluhan. Berpacaran hanya sebulan-dua. Seterusnya diikat tali pernikahan. Sebab, tak baik menurut adat mereka berpacaran lama-lama, siapa tahu ada  pengikut ketiga; setan terkutuk.

Apakah dia cemburu? Sama sekali tidak. Kau pasti salah menebak. Sifat cemburu sepertinya sudah dia kikis habis. Bahkan ketika melihat si Mansi selalu berpacaran dengan Wansi sekelar bertugas, dia pun tak tersindir. Beruk Frang memang ada dua; Mansi dan Wansi. Tapi yang bertugas memanjat kelapa hanya Mansi. Wansi mungkin tugasnya bersolek di kandang agar ketika Mansi pulang tugas, dia kembali mencharge ulang tenaga pejantan itu.

Maaf, aku kelupaan. Sebenarnya ada satu lagi yang aneh pada diri Frang. Meski kemaluannya belum tentu besar, tapi rasa malunya suaaangat besar. Setiap bertemu perempuan---entah namanya remaja tong-tong karena bila dijentik berbunyi tong-tong saking tuanya, atau remaja ting-ting yang berbunyi ting-ting lantaran masih muda---Frang selalu tertunduk dan diam seribu bahasa.

Frang hanya menurut mengambil kelapa para perempuan itu, dengan sama sekali tidak menatap wajah mereka, konon lagi sekadar berbasa-basi. Badan lelaki itu akan keras seperti arca. Mansi sendiri bingung mau mengambil kelapa masak atau muda. Sebab sang tuan puasa bicara. Tinggal si beruk mempergunakan instingnya.

Maaf, aku kelupaan lagi. Ini yang terakhir. Agar terang bagimu cerita ini, pengusaha beruk sepertinya dilarang mendapat upah berupa uang. Semua dibayar memakai kelapa. Sistem bagi hasil seolah menjadi undang-undang. Bila kelapa yang dipetik sepuluh, pengusaha beruk beroleh 1 buah. Bila yang dipetik seratus, tentulah mereka dapat sepuluh. Nah, bila yang dipetik jumlah ganjil, maka sisa yang setengah, sepertiga, atau berkeping-keping sekali pun, itu kelak bisa diselesaikan di belakang layar.

Sangat disayangkan, hampir sebulan ini, Frang seolah hilang dari jalanan. Pintu rumahnya selalu tertutup. Sepeda kumbangnya hampir kecoklatan diselimuti debu. Kelapa penduduk yang minta dipetik, terpaksa diserahkan ke pengusaha beruk dari kampung lain. Tentu saja upahnya agak mahal. Sebab jarak satu kampung dengan kampung lain hampir dua kilometer. Berat diongkos, begitu kira-kira pengusaha beruk beralasan. Sepuluh kelapa berupah dua buah. Seratus kelapa dibayar sebelas buah. Seperti itu seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun