Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anggota Klub STI

10 Juni 2019   23:34 Diperbarui: 10 Juni 2019   23:57 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Panas dan gerah terasa sejak lampu mati tiga jam lalu. Walaupun genset menyala, kipas angin dalam posisi penuh, kesejukan tak merasuk, terutama ke dalam hatiku. 

Di antara teman sekantor, akulah yang paling pendiam. Mau diejek bagaimana pun aku memilih fokus pada pekerjaan. Paling tidak kalau lagi santai, aku membunuh waktu sambil menulis. Aku hanya gabung dengan pekerja lelaki, hanya tuntutan perut. Artinya, ketika jeda istirahat makan siang, aku isi perut sekadarnya. Selepas itu, kulanjutkan shalat dzuhur, dan permisi masuk ruang kerja duluan. Teriakan ""suami aliman" sedikit menyembilu hati. Bukan lantaran aku alim urusan agama. Mutlak karena aku dicap suami manut istri. Anggota klub STI alias Suami Takut Istri.

Padahal mereka tak tahu, sepulang dari kantor, aku selalu ke rumah mendiang Bang Zal. Ada lima anak yatim di situ. Aku harus tahu kondisi mereka aman. Apa mereka kekurangan. Apa mereka butuh cerita yang bisa mengundang tawa.  Atau sesekali aku ingin  membawa makanan enak, agar lidah mereka bisa mengicip makanan orang kaya.

Bang Zal adalah abang sekaligus ayahku. Sejak ayah kami meninggal karena kecelakaan dua puluh lima tahun lalu, praktis Bang Zal yang mengambil alih kemudi rumah tangga. Dia memutuskan tak melanjutkan sekolah demi meneruskan lapak ikan warisan ayah. Dia, dibantu Apak Amak, berjuang sekuat tenaga agar dapur tetap ngebul. Terutama mewujudkan cita-citaku menjadi sarjana ekonomi.

Berkali-kali aku ingin berhenti melanjutkan pendidikan, sekadar meringankan kerjanya di pasar. Tapi, dia selalu tak memberi izin. Harus ada di antara kami yang menjadi orang sukses.

Aku memang berhasil menjadi sarjana ekonomi predikat cumlaude, tapi bertitel SEP atau Sarjana Ekonomi Pengangguran. Namanya sarjana, makan saja masih ditanggung Bang Zal.

Aku beruntung menikahi Aisyah. Meski dia cukup uang untuk seluruh urusan pernikahan kami, Bang Zal dan mendiang ibu tak ingin malu. Bang Zal membongkar tabungannya. Mendiang ibu menjual emas. Semua murni untukku. Tentu tak salah aku membalikkan keadaan, membantu keturunan Bang Zal, setelah aku bekerja di perusahan pupuk itu, thus bergaji lumayan. Urusan Aisyah, sudah mafhum adanya. Tak jarang aku tiba di rumah hampir jam sebelas malam. Meski aku menolak dijamu makan dengan alasan kenyang, ada-ada saja cara Aisyah agar kami bisa makan bersama.

"Yakinlah!" Paolo, sang orator ulung, kembali menyemburkan api. Para penempik sorak bukan main girangnya. Aku menghalau bullyan mereka sambil bermain game di ponsel.

Jujur, satu setengah tahun aku bekerja bersama mereka, tak semalam pun aku bisa diajak menikmati gemerlap lampu kota.  Selalu saja ada alasanku, dan pasti tak jauh-jauh dari melayani istri. Aku berbohong. Andai aku ceritakan yang sebenanya, mungkin akan timbul fintah di benak mereka bahwa aku riya.

"Yakinlah, anggota klub STI ini tak akan mau ikut," lanjut Paolo. "Sudah berapa kali dia menolak ajakan kita kumpul-kumpul malam."

Aku dapat mengira-ngira kumpul-kumpul malam itu seperti apa. Ujung-ujungnya narkoba, ngedugem, minum minuman keras, dan tentu tak jauh dari urusan perempuan. Padahal mereka semua sudah menikah. Bahkan umurnya hampir lima belas tahun di atasku.

Kerasnya hidup saat membujang tak dapat kulupakan. Meskipun pendidikanku dijamin seratus persen oleh mendiang Bang Zal, aku tak cengeng menghadapi hidup. Petarung jalan menjadi kernet bus kota, pernah kualami. Menulis, mengamen, mencuci mobil, jualan koran, dan salesman, bukan barang asing lagi. Aku menghargai setiap tetes keringat, bukan demi berleha-leha. Setiap receh harus dipehitungkan agar bisa bermanfaat. "Meskipun uang yang kau dapat seperti air di pancuran, sekali-sekali jangan berbuat mubazir. Masih banyak orang diluar sana, hanya untuk menikmati setetes air, harus berbunuh-bunuhan." Itu petuah mendiang ayah yang keluar dari mulut Bang Zal.

"Him, ini acara resepsi putri bos kepala. Masak kau tak datang." Pean, menyemburkan minyak, hingga panas hatiku berubah bara.

"Kelewatan kalau untuk menghadiri acara seperti ini saja tak datang karena takut istri." Paolo tertawa mengejek. "Atau karena gedung resepsi berdekatan dengan diskotik? Habis resepsi, langsung happy-happy." Tawa semakin riuh. Lampu menyala. Aku bersyukur bullyan akan senyap.

"Him Damsyik aja bisa menjadi Datuk Maringgih meski kerempeng begitu. Kau bertampang Samsul saja, tak laku-laku. Satu saja pasangan, tetep!" Paolo mengakhiri bullyan dengan pukulan telak. Pukulan telak pula yang dia dapat karena bos kepala memanggil pasal hitungan salah.

***

Irama musik Melayu menyambutku di gerbang depan. Lampu kelap-kelip menambah indah panorama alam. Nun di bawah sebatang pohon, aku melihat Paolo, Pean, Suf dan Munsir, tertawa terpingkal-pingkal. Sesekali mereka menunjuk ke arahku.

Aku tetap tegar. Di luaran sini tak berlaku urusan senior-junior, semua sama rata. Aku menyalami mereka satu per satu.

"Aku bukan anggota klub STI, kan? Buktinya aku datang," kataku.

"Datang ya datang. Tapi seorangan. Alasan keluar rumah, tak jauh-jauh dari ngelembur di kantor." Mereka hampir kompak tertawa. Seseorang berjilbab yang turun dari mobil mewah, membuat tawa itu terpotong. Dasar, melihat perempuan bening saja mata langsung ijo!

"Putri dari negeri di awan. Tanpa pasangan pula. Ayo, bertaruh, siapa yang dapat memetik cintanya." Paolo berdecak kagum.

"Sayangnya berjilbab, Man!" celetuk Munsir.

"Mau berjilbab atau tidak, aku pasti tak bisa tidur bermalam-malam bersama perempuan itu. Nah, dia mendekat ke mari.Dia tahu mana laki-laki tampan. Kecuali orang ini." Paolo menunjuk aku. Ketika perempuan itu semakin dekat, gaya sok tampan mereka  menjadi-jadi. Mirip anak sekolah putih-biru.

Perempuan itu merapatkan kedua telapak tangan di depan dada sambil tersenyum. Empat lelaki sok ganteng itu berbuat serupa. Hanya saja ketika perempuan itu meraih tangan dan mencium takzim punggung tanganku, Paolo dan keempat temannya terpelongo.

Perempuan itu berkata, "Maafin bunda ya, Bi. Tadi mendadak ada pasien harus dioperasi. Bunda jadinya ingkar janji."

"Tak apa-apa, Bun. Urusan membantu orang itu lebih penting," ucapku sembari permisi kepada mas-mas yang tetap terplongo. Aisyah melingkarkan tangan di pinggangku. 

Masih sempat kulihat empat badak betina seakan kebakaran jambul keluar dari dalam taksi. 

"Paolo, mau main-main ya, Penggatal!"

"Ini bukan seperti yang Mama kira. Papa bisa jelaskan baik-baik." Aku tak ingin melihat adegan selanjutnya, kecuali aku masih mendengar jerit tertahan. Mungkin puser mereka telah menjadi sasaran cubitan. Aku tak ambil pusing!

---sekian---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun