Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ketika Masnan Bisa Pulang

3 Juni 2019   00:34 Diperbarui: 3 Juni 2019   00:48 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Sejak Shalat Maghrib, bunda setia berdiri di bibir teras. Air mukanya keruh.

Lantunan takbir membuat kerut di wajahnya semakin menua. Dia kehilangan anak bungsu, setelah dirampok perempuan dari tanah seberang. Meski aku mengatakan bahwa itu perasaan bunda saja, dia bergeming.

Saat berbuka, dia hanya minum air putih hangat dan tiga butir kurma. Kurayu dengan rendang belut masakan istri, dia hanya mengatakan sedang tak nafsu makan. 

Orang yang seharian berpuasa tidak nafsu makan saat berbuka? Mustahil! Apalagi rendang belut lauk favorit bunda. Makannya bisa meningkat dua level. Bunda mengatakan istriku memiliki tangan penyihir. Apa saja yang dia masak, rasa lezatnya berlipat-lipat. Apakah kelezatan itu tak bisa menundukkan ego bunda sekadar makan rendang belut sesuap dua? 

Kutahu bunda sedang sakit. Bukan raganya, melainkan sakit yang bertunas di hati, lalu berbuah di wajah yang menambah kerut duka.

Masnan memang agak keterlaluan. Sudah dua lebaran dia tak mudik. Dia sangat jauh berubah setelah diterima menjadi ASN di departemen bea dan cukai. Dia semakin berubah setelah menikah dengan puteri pengusaha kaya. Berarti lebaran ini, kali ketiga dia tak mudik.

Anak kurang ajar! Apakah Masnan tak tahu surga itu berada di bawah telapak kaki ibu?Setelah sukses, dia tak pernah menyenangkan bunda, tapi lebih sering membuatnya menangis. Memang dia mampu merawat raga bunda dengan uang yang dikirimnya secara berkala, dan selalu berlebih. Namun, sedikit pun dia tak berusaha merawat hati bunda. Membahagiakannya. Apakah setiap orang yang sudah sukses itu harus berani membunuh jiwa melankolisnya? Padahal jiwa melankolis itu yang membuat seseorang itu bertambah sukses seperti yang kualami. Dan ini bukan sekadar melankolis, melainkan bukti bhakti anak kepada bunda. Bagiku mudik adalah bukti bhaktiku kepadanya. Sebab tak selamanya harta bisa menyenangkan hati.

Masnan itu anak kesayangan bunda. Lebih dari sayang yang pernah aku dapatkan. Aku dan Masnan dua bersaudara. Maka itu, pilih kasih bunda terlihat kentara. Apakah akhirnya aku cemburu? Oh, sama sekali tak. Masnan lebih muda dariku hampir sembilan tahun. Jadi, dari orok hingga dewasa, aku tahu persis perkembangannya.

Masnan terlahir prematur pada usia kandungan bunda delapan bulan. Dari umur satu hingga lima tahun, dia mengidap penyakit epilepsi. Sembuh dari penyakit itu, dia menjadi anak hiperaktif. Bunda selalu kerepotan mengurusi Masnan.  Beberapa kali bunda harus berurusan dengan wali murid, karena kepala anak mereka bocor. Atau bibir dan mata anak mereka biru. Semua itu karena ulah Masnan. Belum lagi bunda berapa kali mengganti kaca jendela rumah tetangga yang pecah. Atau pot-pot bunga hancur. Semua karena kenakalan Masnan. Wajah bunda terlihat lebih tua dari usianya. 

Untunglah ketika duduk di bangku SMA hingga kuliah, dia menjadi anak baik. Apakah selama tiga tahun berselang, dia kembali menyandang gelar anak yang menyusahkan?

"Bunda, makanlah! Nanti nasi keburu dingin." Aku siap-siap berangkat takbiran di Masjid. 

Bunda berpindah dari bibir pintu ke atas sofa. Dia menatapku lesu. "Pergilah ke Masjid, Yan! Tak usah ragu, bunda sebentar lagi makan." Dia mengurut-urut jemari tangannya yang sering ngilu lima bulan berselang  "Kenapa Masnan tak datang-datang, ya? Ayam goreng kesenangan Masnan masih ada?"

"Masih dong, Bun." Aku berjalan menuju pintu depan. "Mungkin jalanan macet." Aku berusaha berbohong agar bunda senang. Padahal aku sudah yakin Masnan tak akan mudik seperti yang sudah. Si anak hilang telah tersesat di rimba kota. Dia tak akan tahu jalan pulang.

Sepulang takbiran, sekitar jam dua belas malam, aku menemukan bunda terkantuk-kantuk di ruang tamu. Dia masih ingin menunggu Masnan. Meski aku memintanya tidur, bunda ogah. Aku memaksa badan rebah di atas bale-bale. 

"Tidurlah, Yan. Kasihan istrimu sendirian di kamar," ucap bunda.

"Sofyan belum mau tidur, Bun. Cuma rebah-rebahan saja," jawabku. Tapi, mataku enggan diajak kompromi. Rasa lelah menyadap badan setelah perjalanan panjang dari kota Padang ke kampung ini, kiranya lebih kuat membenamkan kelopak mata.

Aku tiba-tiba tersentak bangun karena suara ribut-ribut. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dinihari.  Oh, tumben, si anak hilang rupanya tak tersesat. Dia tahu arah jalan pulang.

Masnan memelukku erat-erat. Istrinya mencium takzim punggung tanganku. Kemudian aku memilih melanjutkan tidur di kamar berdua istri. Masalah basa-basi, kami bisa melanjutkannya besok pagi sepulang Shalat Ied.

Sayangnya, meski badan rebahan di atas kasur, aku hanya bisa memejamkan mata, bukan  memejamkan pikiraan. Aku ingin secepatnya memberitahu Masnan. Sikapnya kepada bunda sangat tidak baik. Mungkin paling lama sepuluh tahun kami bisa merawat bunda. Selebihnya kami hanya menemui pusaranya.

Maka setelah Shalat Ied, aku langsung menemui Masnan di kamarnya. Meski ini pahit dan bisa merenggangkan persaudaraan, tapi aku tak ingin melihat bunda setiap lebaran susah hati. Harusnya dia  berbahagia seperti orang-orang.

Aku menemukan Masnan sedang meminum semacam obat di kamarnya. Menyadari kedatanganku, dia menyembunyikan sesuatu ke dalam tas istrinya.

Masnan beralasan sedang sakit kepala. Aku tak peduli. Sikap mencurigakan itu membuatku penasaran. Sesuatu yang disembunyikan Masnan dan dipertahankan istrinya, bisa kudapat, sekaligus membuatku tercengang.

Karena seorang dokter spesialis penyakit dalam, aku sangat kenal sesuatu yang disembunyikan Masnan dan istrinya.

Mereka langsung tertunduk lesu. Masnan menepuk-nepuk punggang tanganku. "Kuharap ini menjadi rahasia kita, Bang. Karena kau telah menemukan obat itu, terpaksa aku berterus terang. Kurang lebih tiga tahun lalu, aku divonis dokter mengidap penyakit jantung. Dan jantungku sudah memiliki lima cincin. Aku juga beberapi mengalami serangan jantung. Kuharap rahasia kita tetap aman."

"Aku tak habis pikir, Masnan."

"Mohon maaf. Aku tak ingin lagi menyusahkan bunda, Bang. Belasan tahun aku sudah melakukannya. Menurut dokter, sakitku adalah akibat jangka panjang terlahir sebagai bayi prematur." Masnan memelukku erat-erat. Bahuku basah oleh tangisnya. Dia tetap meyakinkanku agar tetap menjaga rahasia. Sungguh, sekarang aku tak bisa lagi berbuat apa-apa.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun