Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ketika Masnan Bisa Pulang

3 Juni 2019   00:34 Diperbarui: 3 Juni 2019   00:48 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunda berpindah dari bibir pintu ke atas sofa. Dia menatapku lesu. "Pergilah ke Masjid, Yan! Tak usah ragu, bunda sebentar lagi makan." Dia mengurut-urut jemari tangannya yang sering ngilu lima bulan berselang  "Kenapa Masnan tak datang-datang, ya? Ayam goreng kesenangan Masnan masih ada?"

"Masih dong, Bun." Aku berjalan menuju pintu depan. "Mungkin jalanan macet." Aku berusaha berbohong agar bunda senang. Padahal aku sudah yakin Masnan tak akan mudik seperti yang sudah. Si anak hilang telah tersesat di rimba kota. Dia tak akan tahu jalan pulang.

Sepulang takbiran, sekitar jam dua belas malam, aku menemukan bunda terkantuk-kantuk di ruang tamu. Dia masih ingin menunggu Masnan. Meski aku memintanya tidur, bunda ogah. Aku memaksa badan rebah di atas bale-bale. 

"Tidurlah, Yan. Kasihan istrimu sendirian di kamar," ucap bunda.

"Sofyan belum mau tidur, Bun. Cuma rebah-rebahan saja," jawabku. Tapi, mataku enggan diajak kompromi. Rasa lelah menyadap badan setelah perjalanan panjang dari kota Padang ke kampung ini, kiranya lebih kuat membenamkan kelopak mata.

Aku tiba-tiba tersentak bangun karena suara ribut-ribut. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dinihari.  Oh, tumben, si anak hilang rupanya tak tersesat. Dia tahu arah jalan pulang.

Masnan memelukku erat-erat. Istrinya mencium takzim punggung tanganku. Kemudian aku memilih melanjutkan tidur di kamar berdua istri. Masalah basa-basi, kami bisa melanjutkannya besok pagi sepulang Shalat Ied.

Sayangnya, meski badan rebahan di atas kasur, aku hanya bisa memejamkan mata, bukan  memejamkan pikiraan. Aku ingin secepatnya memberitahu Masnan. Sikapnya kepada bunda sangat tidak baik. Mungkin paling lama sepuluh tahun kami bisa merawat bunda. Selebihnya kami hanya menemui pusaranya.

Maka setelah Shalat Ied, aku langsung menemui Masnan di kamarnya. Meski ini pahit dan bisa merenggangkan persaudaraan, tapi aku tak ingin melihat bunda setiap lebaran susah hati. Harusnya dia  berbahagia seperti orang-orang.

Aku menemukan Masnan sedang meminum semacam obat di kamarnya. Menyadari kedatanganku, dia menyembunyikan sesuatu ke dalam tas istrinya.

Masnan beralasan sedang sakit kepala. Aku tak peduli. Sikap mencurigakan itu membuatku penasaran. Sesuatu yang disembunyikan Masnan dan dipertahankan istrinya, bisa kudapat, sekaligus membuatku tercengang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun